PENDEKATAN LINGUISTIK
Makalah Ini Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan dalam Kajian Islam
Dosen Pengampu Bapak Dr. Ahmad Arifi,
M.Ag
Disusun oleh
Siti Mahdzuroh ( 1520410001 )
PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM MAGISTER
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Maret, 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula
penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini
dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi
ilmiah Pendekatan dalam Kajian Islam tentang Pendekatan
Linguistik
Penulis menyadari bahwa materi yang disampaikan dalam makalah ini masih belum
sempurna dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini
dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada
dalam makalah ini,makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para
pembaca dan saran yang membangun serta bisa membantu untuk menyempurnakanya.
Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.
Terima
kasih kepada dosen mata kuliah Pendekatan
dalam Kajian Islam yang telah membimbing kami sehingga
bisa terselesaikan makalah ini dengan baik
2.
Terima
kasih penulis tujukan kepada orang tua yang turut membantu secara tidak
langsung melalui doa dan motivasinya
3.
Terima
kasih kepada teman-teman yang telah meminjamkan buku untuk dijadikan referensi
dalam menyelesaikan makalah
Yogyakarta, 3 Maret 2016
|
|
Penulis
|
Selama proses penulisan
makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari
berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR ISI..................................................................................................
ii
BAB I, PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II, PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Linguistik dan Bidang Kajian
Linguistik ........................... 3
2.3 pengertian Pendekatan
Linguistik ........................................................ 4
2.3 Kategori Pendekatan Linguistik dalam Kajian Islam
........................... 5
2.4 Ilmu yang Terkait dengan
Linguistik dalam Mengkaji Islam ............... 6
2.5 Aplikasi Pendekatan
Linguistik dalam Kajian Islam.............................
10
2.6 Kajian Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an ............................................. 16
BAB III, PENUTUP
3.1 Simpulan .............................................................................................. 21
3.2 Saran .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Baidan mengemukakan hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu
Hurairah: Saya telah meninggalkan dua pusaka padamu. Kamu tidak akan sesat
selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan Sunnahku.
Allah mewahyukan Al-Qur’an melalui bahasa yang jelas dan dapat dimengerti. Itulah sebabnya manusia dapat mempelajari al-Qur’an dari berbagai aspek, termasuk bahasa atau linguistiknya.
Allah mewahyukan Al-Qur’an melalui bahasa yang jelas dan dapat dimengerti. Itulah sebabnya manusia dapat mempelajari al-Qur’an dari berbagai aspek, termasuk bahasa atau linguistiknya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad
memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an
sebagai petunjuk dapat dikaji dan diselami samudra hikmah dan keilmuanya dari
berbagai aspek, sebagai kitab suci yang sempurna sudah tentu al-Qur’an dapat
difahami dari sisi mana saja termasuk salah satunya dengan pendekatan
linguistik.
Didalam setiap
kajian ilmiah, pemahaman yang benar harus memenuhi persyaratan kecerdasan,
masuk akal sehingga dapat diikuti oleh orang yang mengikutinya dengan
menggunakan penalarana yang wajar. Memang kecerdasan dapat berkembang dan berubah
karena penemuan-penemuan baru.
Salah satu fungsi
al-Qur’an adalah pemberi tuntunan kehidupan dan bahwa ia muncul pada waktu
lampau yang sangat jauh dan tidak berbicara tentang realitas empirik secara
rinci, melainkan mengenai bagaimana menjalani hidup dengan jalan Tuhan.
Teks-teks kitab suci sudah selesai dibuat dengan gaya bahasa, cara pandang dan
perangkat-perangkat keyakinan dan seterusnya yang berkaitan dengan penggunaan
bahasa.
Islam lahir sebagai
gejala lisan dan praktek tanpa tulisan, tetapi tidak lama kemudian terbentuk
teks-teks tertulis yang menjadi sandaran utama dalam perumusan ajaran.
Sebenarnya didalam kedua hal itu peran bahasa sangatlah besar.
Sebagai karya
kebahasaan, teks-teks utama islam memerlukan penelitian kebahasaan sehingga
munculah ilmu nahwu, sharaf, balaghah, ushul fiqh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud
dengan linguistik dan apa saja bidang kajianya?
2. Apa pengertian
pendekatan linguistik dalam kajian islam?
3. Bagaimana kategori
pendekatan linguistik dalam kajian islam?
4. Apa saja ilmu yang
terkait dengan linguistik dalam mengkaji islam?
5. Bagaimana aplikasi
pendekatan linguistik dalam kajian islam?
6. Bagaimana kajian
linguistik dalam tafsir al-Qur’an?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui makna
linguistik dan bidang kajianya
2. Mengetahui
pengertian pendekatan linguistik dalam kajian islam
3. Mengetahui kategori
pendekatan linguistik dalam kajian islam
4. Mengetahui ilmu yang
terkait dengan linguistik dalam mengkaji islam
5. Mengetahui aplikasi
pendekatan linguistik dalam kajian islam
6. Mengetahui proses
mengkaji tafsir al-Qur’an dengan linguistik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Linguistik
dan Bidang Kajian Linguistik
Linguistik adalah
studi bahasa secara ilmiah dengan fokus utamanya adalah struktur bahasa,
sedangkan tujuan dan objek utamanya adalah bagaimana orang menggunakan bahasa
untuk berkomunikasi.
Menurut Ibnu Jinni,
bahasa adalah bunyi yang diungkapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan
tujuanya.
Bahasa mempunyai
beberapa sifat atau ciri, diantaranya:[1]
1. Bahasa adalah sebuah sistem
2. Bahasa itu berwujud lambang
3. Bahasa itu berupa bunyi
4. Bahasa itu bersifat arbitrer
5. Bahasa itu bermakna
6. Bahasa itu bersifat konvensional
7. Bahasa itu bersifat unik
8. Bahasa itu bersifat universal
9. Bahasa itu bersifat produktif
10. Bahasa itu bervariasi
11. Bahasa itu bersifat dinamis
12. Bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial
13. Bahasa itu merupakan identitas penuturnya
Ahli linguistik yang disebut
linguis menurut Verhaar tidak berurusan dengan bahasa sebagai alat pengungkap
afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khas golongan sosial atau bahasa
sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan ahli psikologi,
sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik adalah bahasa
sebagai bahasa.
Pembagian linguistik terdiri
dari:
a) Linguistik menurut objek
kajiannya: linguistik mikro dan linguistik makro. Objek kajian linguistik mikro
adalah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakup struktur fonologi
(bunyi), morfologi (struktur kata), sintaksis(hubungan antar kata) dan semantik
(makna). Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di
luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi dan
neurologi.
b) Linguistik menurut tujuan
kajiannya: linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis
bertujuan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkan
kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam
kegiatan praktis seperti pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan
sebagainya.
c) Linguistik sejarah dan
sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan
suatu bahasa, sedangkan sejarah linguistik mengakaji perkembangan ilmu
linguistik mengenai tokoh-tokohnya, alira teorinya, amupun hasil kerjanya.
2.2 Pengertian Pendekatan
Linguistik
Pendekatan adalah sudut pandang bagaimana suatu permasalahan
didekati, dibahas, dan dianalisa, berdasarkan sudut (ilmu atau teori) tertentu,
sehingga mendapatkan kesimpulan yang tepat. Pendekatan bersifat lebih
operasional daripada paradigma tetapi tidak se-operasional metode apalagi
tekhnik.[2]
Pendekatan dalam konteks studi islam adalah cara seorang pengkaji
memandang, membahas, dan menganalisa suatu objek agama islam dengan menggunakan
ilmu-ilmu atau teori-teori tertentu. Agama yang dijadikan objek studi dapat
berupa dimensi ajaranya maupun realitasnya. Ilmu-ilmu atau teori tertentu itu
pada dasarnya dipergunakan sebagai alat bantu atau pisau analisis atas
permasalahan sehingga tampak jelas objek dan lingkup studinya.[3]
Menurut H. Huslof yang dikemukakan oleh Tugiman dalam
Jabrohim, pendekatan linguistik merupakan seperangkat istilah yang diperlukan
dalam teori teks yang meliputi: 1) struktur luar (suface
srtucture), 2) struktur dalam (deep
structure), 3)
transfomasi (transformation), 4)
Parafrase (paraphrase), 5) interpretasi (interpretation).
Pendekatan linguistik dalam kajian islam adalah cara seorang
mengkaji memandang, membahas, dan menganalisa suatu objek agama islam dengan
menggunakan ilmu-ilmu atau teori-teori linguistik yang dipergunakan sebagai
alat bantu atau pisau analisis atas permasalahan sehingga tampak jelas objek
dan lingkup studinya.
2.3 Kategori Pendekatan Linguistik dalam Kajian Islam
Pendekatan linguistik yang digunakan dalam pengkajian islam
biasanya menekankan pada dua kategori, yaitu analisis bahasa dan analisis
konsep.[4]
Analisis bahasa adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut
pendapat atau banyak pendapat mengenai
makna yang dimilikinya. Bahasa yang dimaksud adalah aspek rasionalnya, bukan
emosionalnya. Analisis bahasa dalam pendekatan bahasa akan memfokuskan pada
sumber-sumber tertulis sebagai sumber pengambilan data. Tulisan-tulisan yang
telah didokumentasi itu dianalisis bahasanya sehingga diketahui makna
penggunaan bahasa tersebut.
Analisis konsep digunakan untuk menganalisis istilah-istilah atau
kata-kata yang mewakili gagasan atau konsep. Dalam melakukan analisis konsep,
ada 4 hal yang perlu diperhatikan:
1.
Berusaha
menemukan kembali arti suatu istilah
2.
Meninjau
suatu konsep secara objektif
3.
Analisis
konsep yang digunakan berdasarkan penerapan logika
4.
Proses
penemuan dalam analisis konsep merupakan pemahaman yang jelas mengenai hubungan
antara pikiran, bahasa dan realitas.
Analisis konsep pada intinya bermaksud menganalisis kata-kata yang dapat
dikatakan sebagai kata kunci dari sebuah konsep. Berbeda dengan analisis bahasa
yang bermaksud mengetahui arti sebenarnya dari sesuatu hal. Kedua analisis ini sangat
diperlukan dalam pendekatan kebahasaan.[5]
2.4 Ilmu yang Terkait dengan Linguistik dalam Mengkaji Islam
Terdapat beberapa ilmu yang terkait dengan dengan pendekatan
linguistik dalam kajian islam, diantaranya:[6]
1.
Ilmu
mantiq
Istilah ilmu mantiq diambil dari kata an-nutqu yang artinya bicara
atau berkata. Namun yang dimaksud dengan ilmu mantiq adalah ilmu berpikir atau
logika. Hal ini karena para penganut logika dari kalangan muslim tertarik pada
perkataan dimana antara aktivitas berpikir dan perkataan (kata, kalimat, dan
proposisi) terdapat hubungan yang sangat erat, sebagaimana hubungan lafadz
yaitu ucapan yang mengandung arti dan makna tidak bisa dipisahkan karena
lafadz-lafadz itu sebagai tanda-tanda atau alat-alat makna.
Menurut para ahli mantiq, suatu ungkapan yang berupa proposisi
(al-qadiyah) atau kalimat yang dituturkan oleh seseorang dikatakan benar dan
mengandung makna jika ungkapan tersebut memenuhi syarat logika formal dan
material. Artinya, bahwa ungkapan tersebut tidak hanya benar menurut standar
logika formal seperti mengandung subjek dan predikat, tetapi sekaligus
mencerminkan sebuah fakta.
Dalam pandangan ahli mantiq, suatu ungkapan atau kalimat yang tidak
didasarkan pada bahasa logika atau tidak memenuhi unsur-unsur dan kaidah-kaidah
ilmu mantiq maka ungkapan tersebut mengandung kesalahan, dan karenanya ia tidak
akan memberikan makna yang sempurna (faidah) bagi siapa saja yang mendengarnya.
Makna sebuah kalimat atau proposisi menurut ahli mantiq sangat bergantung pada
benar tidaknya susunan kalimat tersebut dilihat dari aspek logika formal dan
logika material. Sebuah proposisi belum dikatakan benar, jika ia hanya benar
menurut logika formal sedangkan secara material sangat sulit dibuktikan
kebenaranya.
2.
Semiotik
islam
Semiotika sebagai ilmu tanda adalah berasal dari kata Yunani semion
yang berarti tanda. Bagi Peire makna tanda adalah mengemukakan sesuatu. Dalam
islam, dasar-dasar semiotika tersebut adalah ada pada konsep dilalah, yaitu
suatu hal yang dapat membangkitkan adanya petunjuk. Apa yang diacunya atau yang
ditunjuknya disebut madlul.
Menurut ahli mantiq, ilmu mantiq adalah mempelajari bagaimana orang
bernalar, atau bagaimana orang berfikir benar. Dalam hipotesis teori peire yang
mendasar, bahwa penalaran itu dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda
memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna
pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Dilalah itu dibagi menjadi enam macam:
1)
Dilalah
lafdiyah aqliyah, ialah dilalah lafal (suara, ungkapan) yang didasarkan pada
lafal yang rasional seperti suatu ucapan menunjukkan adanya orang yang
mengucapkan
2)
Dilalah
lafdiyah thabi’iyah, ialah dilalah lafal yang didasarkan pada tabiat atau
kebiasaan seperti rintihan “aduh” menunjukkan kesakitan
3)
Dilalah
lafdiyah wadh’iyah, ialah dilalah lafal yang didasarkan pada suatu lafal atau
ungkapan yang sengaja ditetapkan atau dibuat, seperti ungkapan “al-insanu
hayawanu nathiqun’ (manusia adalah binatang yang berpikir)
4)
Dilalah
ghair-lafdiyah aqliyah, ialah dilalah yang disebabkan oleh adanya petunjuk atau
tanda yang bisa disimpulkan secara rasional seperti kepulan asap menunjukkan
adanya api
5)
Dilalah
ghairu lafdiyah adiyah, ialah dilalah yang disebabkan oleh adanya kebiasaan
(adat) seperti “merah muka” tandanya malu
6)
Dilalah
ghairu lafdiyah wadh’iyah, ialah suatu dilalah yang didasarkan pada suatu
ketetapan dan dibuat secara sengaja seperti “berkibarnya bendera setengah
tiang” menunjukkan adanya pembesar negara yang meninggal dunia, atau seperti
lampu merah tanda berhentinya lalu lintas.
3.
Hermeneutik
islam
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuin yang berarti
menafsirkan. Secara lebih luas istilah hermeneutik diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Menurut Zygmunt Bauman hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan
menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
abstrak, belum jelas maknanya, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan
bagi pendengar atau pembaca. Keraguan ini muncul adakalanya juga muncul ketika
seseorang dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasanya
mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian yang
serius untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas.
Didunia islam kegiatan hermeneutika dalam pengertian yang terahir ini telah
lama dilaksanakan, yaitu melalui disiplin ilmu tafsir. Objek utama dari
disiplin ilmu ini adalah Al-qur’an. Dengan kegiatan semacam ini diharapkan kaum
muslim mendapatkan penjelasan yang komprehensif mengenai isi kandungan
Al-qur’an.
Terdapat dua istilah yang menunjukkan adanya kegiatan hermeneutika
dalam islam, yaitu istilah tafsir dan ta’wil. Tafsir secara bahasa berarti
menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak
dan pelik. Dengan demikian, tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksud oleh
lafal dan melepaskan apa yang tertahan dari pemahaman. Sedangkan ta’wil menurut
bahasa artinya kembali ke asal artinya kembali kepadanya dan memikirkan,
memperkirakan, dan menafsirkanya.
Dipandang dari sudut hermeneutika, sebenarnya antara tafsir dan
ta’wil tidak memiliki perbedaan yang subtansial, keduanya sama-sama mencari
pemaknaan suatu teks. Jika tafsir berupaya mencari makna dzahir dari suatu teks
(ayat Al-qur’an) yang pengertianya secara tegas menyatakan maksud yang
dikehendaki Allah SWT, sedangkan ta’wil menguatkan sebagian makna dari beberapa
makna yang tercakup dalam pengertian ayat (teks) yang mungkin mempunyai
beberapa pengertian.
Dengan menggunakan metode tafsir dan ta’wil ini, selanjutnya para
filosof dan ilmuan muslim membagi konsep makna menjadi dua jenis, yaitu manhtuq
dan maffhum. Kata manhtuq secara leterlek adalah sesuatu yang diucapkan.
Sedangkan secara istilah ialah suatu makna yang diperoleh dari lafal atau
susunan lafal itu sendiri. Atau dengan kata lain manhtuq adalah suatu makna
yang tersurat. Hal ini karena ia ditunjukkan oleh lafal menurut ucapanya, yaitu
penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.
Kata mafhum secara leterlek artinya adalah sesuatu yang dipahami.
Sedangkan secara luas artinya adalah suatu makna yang tidak diperoleh dari
suatu lafal atau susunan, tetapi merupakan makna atau arti yang tersirat, yaitu
makna yang ditunjukkan oleh lafal tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Contoh,
firman Allah yang berbunyi, “falaa takul-lahuma uffin” yang berarti maka
janganlah engkau berkata kepada kepada ibu bapakmu dengan ucapan uff (ah). Kata
“uff” dinamakan manthuq karena itulah firman Allah. Dari ayat ini
diperoleh pengertian bahwa kita tidak
boleh berkata “uff” kepada ibu bapak. Akan tetapi menurut mafhum lafal ini
“janganlah engkau maki”. Kita dapat memperoleh pengertian kalau ucapan “uff”
yang begitu kecil saja tidak boleh kita tujukan kepada ibu bapak, tentu memukul
atau menganiaya yang lebih besar dari kata-kata semacam itu sudah pasti tidak
boleh.
Sehingga, manthuq atau aspek luar sebuah teks adalah aspek tata
bahasa dan kekhususan linguistik lainya. Mafhum atau aspek dalam adalah jiwanya
sebuah teks. Bagi Freiderich Ast, tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna
internal dari suatu teks beserta situasinya menurut zamanya.
2.5
Aplikasi Pendekatan Lingustik dalam Kajian Islam
contoh makna “Taqwa”
jika dilihat dari segi linguistik, sebagai berikut;
1. Rekonstruksi
Etimologi
Kalau kita masih
menghargai bahwa asal-usul kata ini berasal dari bahasa Arab, maka seharusnya
huruf Q pada kata Taqwa tidak diganti dengan K, hingga menjadi Takwa. Sebab,
dari bahasa aslinya, kata ini memakai huruf Ta-Qaf-Waw-dan Y (Alif
Maqsurah). Dan bukan Ta-Kaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Itu koreksi
pertama, dari segi fonologi.
Taqwa, dan bukan Takwa.
2. Rekonstruksi
Morfologi
Sejatinya, kata
Taqwa itu bukanlah kata dasar. Tapi ia adalah bentuk turunan dari kata sifat “Quwaa”
(Qaf-Waw-Ya) atau “Qawiyyun” yang artinya kuat. Huruf Ya pada
kata Quwaa adalah alif Maqsurah -Ya tanpa 2 titik- yang berfungsi sebagai vocal
panjang (long vowel).
Kata “Quwaa”
(kuat : kata sifat) ini mendapat prefix Ta. Prefix ini sendiri jika diasimilasi
(dilebur) dengan kata sifat, membentuk makna “menjadi”. Peleburan prefix Ta
(menjadi) dengan kata Quwaa (Kuat), membentuk kata TAQWA. Dengan demikian
-secara morfologis- makna kata TAQWA adalah “Menjadi Kuat” atau
“menguat-(kan)”, atau “memperkuat” atau “penguatan”. Attabik Ali dalam kamus
bahasa Arabnya mencantumkan makna lain : “Menjadi Berani”.
Proses asimilasi
yang sama dapat pula dilakukan pada kata-kata sifat yang lain. Contoh kata: “Kabiir”
(besar), jika diberi prefix “Ta”, maka berubah menjadi “TAKBIR”. Artinya adalah
“menjadi besar” atau “membesar-(kan)”. “Qaliil” (sedikit) + prefix Ta
menjadi Taqliil, yang artinya menjadi sedikit atau mereduksi atau
pereduksian.
3. Redefenisi
Redefenisi adalah memikirkan kembali
segala hal yang menurut kita sudah benar kearah yang lebih sesuai dengan
semangat jaman dan cita-cita. Atau menurut KBBI adalah kemampuan merumuskan
batasan dengan melihatnya dari sudut lain dari cara yang lazim
Jadi benarkah
kalau taqwa itu sejajar maknanya dengan takut? Penelusuran makna Taqwa dari
segi linguistik di atas menggambarkan kata taqwa sangat jauh kekerabatannya
dari kata takut. Bahkan sama sekali tidak ada kekerabatan. Kata “takut” pada
bahasa Arab (dalam Kamus dan dalam al-Qur’an) ada 2, yaitu Khaafa/Khauf
dan Khasya.
Dalam al-Qur’an,
Takut (Khaafa/Khauf-Yakhaafu) dapat anda temukan pada QS.
Al-An’am: 51
öÉRr&ur ÏmÎ/ tûïÏ%©!$# tbqèù$ss br& (#ÿrãt±øtä 4n<Î) óOÎgÎn/u }§øs9 Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß @Í<ur wur ÓìÏÿx© öNßg¯=yè©9 tbqà)Gt ÇÎÊÈ
51. Dan berilah
peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan
dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada
seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka
bertakwa.
dan Takut (Khasya-Yakhsya) pada QS. Annur:52.
`tBur ÆìÏÜã ©!$# ¼ã&s!qßuur |·øsur ©!$# Ïmø)Gtur y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrâͬ!$xÿø9$# ÇÎËÈ
52. Dan barang siapa yang
taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya,
Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046].
Perbedaan makna Takwa dan Takut jelas sekali digambarkan pada QS.
Luqman:33
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# öNä3/u (#öqt±÷z$#ur $YBöqt w Ìøgs ì$Î!#ur `tã ¾ÍnÏs9ur wur îqä9öqtB uqèd A%y` `tã ¾ÍnÏ$Î!#ur $º«øx© 4 cÎ) yôãur «!$# A,ym ( xsù ãNà6¯R§äós? äo4quysø9$# $u÷R9$# wur Nà6¯R§äót «!$$Î/ ârãtóø9$# ÇÌÌÈ
33. Hai manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu)
seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula)
menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka
janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula)
penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.
Pertanyaannya
sekarang, kalau taqwa itu berarti “menjadi kuat”, lalu apa yang menjadi kuat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mendapatkan bantuan
Sintaksis dari teksbook atau naskah. Teksbook atau naskah terbaik untuk tujuan
itu adalah Kitab Suci al-Qur’an. Tiga buah terjemahan ayat berikut, dapat
mengantar pemahaman kita ke arah tersebut.
(QS. Al-Baqarah:177)“……Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
* }§ø©9 §É9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr @t6Ï% É-Îô³yJø9$# É>ÌøóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §É9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm Írs 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4q2¨9$# cqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§Ø9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
177. Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
(QS. Al-Baqarah:183) Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
(QS. Al-Hasyr : 18) Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat suci
al-Qur’an yang memuat kalimat seruan “Hai orang-orang yang beriman”, dan
kemudian diikuti dengan seruan “Bertaqwalah”, menjadi fenomena logis yang
mengantar pada kesimpulan logis, bahwa kronologi kompetensi rohani yang
berdampak pada kompetensi jasmani gerak-gerik perilaku- ummat Islam adalah dari
beriman menjadi taqwa. Beriman adalah percaya. Sedangkan Taqwa/bertaqwa adalah
melakukan aktifitas menguatkan keimanan/kepercayaan.
Pemahaman yang
lebih jelas dapat diperoleh Pada QS. Asy-Syu’araa. Pada Surah tersebut terdapat
pertanyaan: “Mengapakah kamu tidak bertaqwa”, yang diulang sebanyak 5 kali.
Pertanyaan tersebut di dahului dengan kata “mendustakan” yang juga diulang
sebanyak 5 kali.
ôMt/¤x. î%tæ tûüÎ=yößJø9$# ÇÊËÌÈ øÎ) tA$s% öNçlm; öNèdqäzr& îqèd wr& tbqà)Gs? ÇÊËÍÈ
Mendustakan adalah
tidak mempercayai atau tidak mengimani. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang
dikatakan taqwa itu adalah kegiatan penguatan/menguatkan keimanan
(kepercayaan), dan melemahkan pendustaan (ketidakpercayaan) atas eksistensi
Allah SWT. Dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut diberi gelar
orang-orang yang bertaqwa (Muttaqiin).
Lalu kenapa ada
kalangan yang memaknai taqwa dengan takut? Jelas, ini diluar pembahasan
linguistik. Boleh jadi, pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis,
bahwa (rasa) takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang
“menjadi kuat” (Taqwa). Jadi telah menjalani proses pemaknaan yang panjang, dan
proses pemaknaan itu bukan secara linguistic tapi secara psikologis.
Bagaimana pula
Kata Taqwa itu sehingga dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi
semua larangan”? Ini pun di luar pembahasan linguistik. Atau, kalau pun masuk
pembahasan linguistik, berarti masuk dalam pembahasan semantik yang sangat
panjang.
Yang jelas, Orang
yang melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangannya belum
tentu taqwa. Tapi sebaliknya, orang yang taqwa sudah jelas melaksanakan semua
perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya.
Cukup penting memahami teks-teks keagamaan tidak hanya yang
termaktub dalam al-Qur’an tetapi juga terhadap hadist Nabi. Dalam ajaran Islam
banyak aturan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan tren-tren kebahasaan,
seperti konsep kepercayaan yang terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin,
kafir, fasik, murtad dan sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan
yang berkaitan dengan relasi Tuhan dan manusia, seperti konsep Ibadah, jihad,
hijrah, haji, zakat dan lain sebagainya.
Pemahaman tentang konsep-konsep keagamaan diawali dari pemahaman
dari sudut kebahasaan sangat diperlukan, seperti contoh kata “Zakat”, pada
awalnya kata zakat merujuk pada makna “tumbuh/berkembang”, namun setelah datang
Islam, kata zakat memiliki makna yang lebih menyempit merujuk kepada batasan
yang telah diwajibkan untuk “mengeluarkan harta kepada yang berhak”
Secara teori kebahasaan, suatu bahasa akan dapat mengalami
perkembangan, pergeseran atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam
bentuk meluas ataupun menyempit. Perubahan makna dapat juga berarti penggantian
rujukan, rujukan yang pernah ada diganti dengan rujukan yang baru . Misalnya, kata
“Hijrah” secara leksikal ia memilki makna “keluar dari suatu Negara ke Negara
yang lain” . Namun ketika kata hijrah telah terhubung dengan kata iman dan
jihad dalam sebuah kalimat maka makna yang terkandung didalamnya tidak hanya
sekedar sebuah aktifitas perpindahan badan dari satu tempat ketempat yang lain.
Dalam konteks ini kata hijrah akan mengalami perkembangan makna yang bisa jadi
mengarah kepada perluasan maupun penyempitan.
Umat Islam memahami kata “Sholat” sebagaimana pengertiannya dimasa
jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab diartikan sebagai “do’a”,
padahal setelah kata sholat digunakan dan dimasukan dalam tren yang sangat
pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telah mengalami pemaknaan yang lebih
khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas yang diawali dengan takbir
dan diakhiri dengan salam.
Untuk dapat mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah,
mua’amalah dan akidah secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila
dikatakan bahasa memegang peran yang sangat besar.
2.6 Kajian Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an
Berkaitan dengan hal ini, sebagai sebuah pisau analisis, pendekatan
bahasa merupakan salah satu pendekatan yang sangat memungkinkan dalam studi
al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan produk “evolusi” kebudayaan masyarakat muslim, juga merupakan representasi nilai
religius teologis muslim yang bercorak bahasa. Oleh karena itu untuk memahami
dan mengkaji al-Qur’an, setidaknya diperlukan pisau analisis yang setara dengan
corak yang dimilikinya, yaitu pendekatan linguistik.
Berikut dalam
artikel Ahmad Zaki Mubarok yang melihat bagaimana Strukturalisme Linguistik teraplikasikan
dalam pembacaan Muhammad Syahrur terhadap ayat al-qur’an, yaitu Q.S. Ali Imran ayat 14 Allah berfirman:
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
14.
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).
Dari ayat tersebut Syahrur
mengidentifikasi beberapa kata kunci. Pertama, “al-naas”, yang berarti
keseluruhan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang berakal. Pengertian
ini mendapatkan justifikasi dari ayat dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
13.
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Kedua, “hubb al-syahawaat”, yang
berarti keinginan-keinginan manusia yang disadari dan disebabkan oleh adanya
pengaruh lingkungan tradisi dan historis-sosiologis.
Berangkat dari
ayat tersebut, Syahrur berpendapat bahwa syahwat manusia yang pokok itu ada
enam yaitu: 1) al-nisa’ (hal-hal yang mutakhir) 2) al-baniin
(bangunan-bangunan megah) 3) al-Qanaatir al-muqantarah (harta yang
banyak) 4) al-khail musawamah (kuda yang dihiasi; sekarang kendaraan
mewah) dan 5) al-hars (kebun).
Kata al-Nisaa
tidak dimaknai dengan perempuan atau istri dalam pengertian yang lazimnya, dan
kata al-baniin dengan anak-anak laki-laki sebagaimana para mufasir dulu bahkan
sekarang, Namun kemudian penulis menemukan, di sinilah Strukturalisme
Linguistik nampak konsisten dalam aktifitas pembacaan Muhammad Syahrur. Dengan
titik pijak dari asumsi dasar bahwa bahasa adalah sebuah sistem sebagaimana
telah didiskusikan di atas, serta bertumpu pada asumsi bahwa suatu makna kata
itu ditentukan oleh relasi-relasi kata secara linear baik sebelum dan
sesudahnya yang dalam tradisi Strukturalisme Linguistik disebut dengan hubungan
sintagmatis. Sehingga kadang-kadang suatu kata yang sama akan memiliki arti
yang berbeda-beda tergantung relasi atau konteks struktur-nya.
Selain itu untuk
mencapai berbagai pemaknaan baru tersebut, Syahrur juga nampak menguji
kata-kata tersebut dengan menggunakan analisis paradigmatis, atau dengan
melihat hubungan mata rantai dalam berbagai rangkaian ujaran, baik yang serupa
maupun berbeda dalam bentuk dan makna.
Dalam ayat
tersebut Syahrur tidak memaknai kata al-nisa’ dengan istri atau perempuan
berdasarkan beberapa “tanda” atau unsur elementer disekitar konteks kata
al-nisa’ tersebut secara linear, yang akan menjadi rancu jika diartikan dengan
istri atau perempuan. “Tanda-tanda” itu adalah;
Pertama, sebelum kata
hubb al-syahawaat min al-Nisaa’ terdapat kalimat “zuyyina li al-naas”.
Kata al-naas itu sebagaimana dikemukakan diatas berarti manusia
mencakup arti laki-laki dan perempuan. Jika al-nisaa’ dimaknai istri atau
perempuan, maka mestinya bunyi ayat itu adalah Zuyyina li al-Rijal. Jika
kata al-nisaa’ tetap diartikan perempuan, hal ini membawa implikasi
bahwa berarti al-Qur’an membolehkan “aktifitas” biseksual (baca:
lesbian/”hubungan” sesama perempuan), karena dalam kata al-naas sudah
terkandung makna perempuan dan laki-laki. Kedua, di akhir ayat tersebut
terdapat serangkaian tanda “zaalika mataa’ al-hayaah al-dunyaa” yang
jika kata al-nisaa’ diartikan sebagai perempuan atau istri, maka itu berarti
perempuan atau istri tersebut merupakan kebutuhan manusia yang disejajarkan
dengan makan, minum, tempat tinggal, kendaraan dst. Kemudian jika al-nisa’
diartikan perempuan, berarti al-Qur’an seolah mensejajarkan perempuan dengan
barang-barang atau hewan yang tidak berakal seperti disebut dalam ayat al-Qanatr
al-muqantarah wa al-khail al-musawwamah dan lain sebagainya. Mensejajarkan
perempuan dengan yang tak berakal seperti ini adalah pandangan yang pejoratif
dan tidak dapat diterima, sebab banyak ayat lain yang menjelaskan tentang
kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang sama-sama sebagai punya akal. Maka
bagi Syahrur kata al-nisaa’ dalam ayat tersebut tidak dapat diartikan
dengan perempuan, sebab ada makna lain selain makna perempuan. Makna lain itu
bisa dilacak dari genealogis kata al-nisaa’ yang dalam bahasa arab berasal
dari yang artinya al-Ta’khir
(datang belakangan, hal-hal yang mutakhir).
Kemudian Syahrur
mengemukakan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat kata al-nisaa’,
namun dikarenakan konteks strukturnya (siyaaq) berbeda dengan ayat Ali
Imraan : 14 diatas, kata al-nisaa’ disini menurutnya tepat jika dimaknai
dengan istri atau perempuan. Ada pun ayat-ayat tersebut adalah:
(Q.S Al-Nisa’[4]: 34)
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$#
(Q.S. al-Nisaa’ [4]: 32)
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4
(Q.S. al-Nisaa’[4]: 1)
£]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4
Kata nisaa’
dalam ayat-ayat tersebut di atas dapat diartikan istri atau perempuan sebab
hubungan-hubungan kata sebelum dan sesudahnya mengharuskan untuk mamaknai kata
al-nisaa dengan perempuan atau istri. Dengan kata lain ada oposisi biner (biner
opposition) yang jelas dalam ayat-ayat tersebut.
Begitu pula kata
baniin yang bermakna anak laki-laki. Itu dapat dilihat dalam ayat-ayat yang
punya oposisi biner yang jelas, misalnya: (Q.S. Al-Safat [37] : 149)
óOÎgÏFøÿtGó$$sù y7În/tÏ9r& ßN$uZt6ø9$# ÞOßgs9ur cqãZt6ø9$# ÇÊÍÒÈ
Sedangkan untuk kata al-baniin, dalam Q.S. Ali Imraan [3]: 14 tidak
dapat dimaknai anak laki-laki, sebab tidak punya biner opposition yang jelas
dalam ayat tersebut. Secara semantis, kata banin berasal dari kata banana bi
ma’na al-luzum wal Iqamah artinya tegak yang merujuk kepada sifat-sifat
dari bangunan. Untuk mendukung pengertian bahwa kata banin bermakna bangunan Syahrur
merujuk secara paradigmatis ayat lain dalam (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 133). yang
berbunyi:
/ä.£tBr& 5O»yè÷Rr'Î/ tûüÏZt/ur ÇÊÌÌÈ
Sedangkan kata ibn yang artinya anak laki-laki menurut Syahrur
berasal dari kata banawa, jama’nya adalah kata abna’.
Dari contoh
aplikasi Strukturalisme Linguistik dalam aktifitas “pembacaan” Syahrur di atas
nampak jelas bahwa Syahrur bertolak dari asumsi bahasa sebagai sebuah sistem,
di mana yang terpenting adalah relasi antara unsur bahasa tersebut baik secara
linear (struktural-sintagmatis) maupun secara asosiatif
(sistemis-paradigmatis). Di sini juga nampak Syahrur menelaah ayat tersebut
dari dua perspektif linguistik yang dibedakan secara tegas oleh Ferdinand de
Saussure, yaitu perspektif sinkronis dan diakronis. Perspektif sinkronis
terlihat dari perhatian Syahrur terhadap relasi struktural tiap unsur bahasa
yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Sedangkan upaya Syahrur untuk melacak
akar semantis atau genealogis berbagai kata kunci dalam ayat tersebut,
melukiskan bahwa ia juga memperhatikan perspektif diakronis, walaupun tidak
secara radic sampai melacak asal-usul kata tertentu. Namun dari dua perspektif
ini, nampaknya perspektif sinkronis-lah yang menjadi titik tumpu Syahrur untuk
melakukan signifikasi pemaknaan. Hal ini terlihat dari upaya Syahrur untuk
memahami ayat tersebut dari perspektif “kekinian” atau kontemporer (mu’asirah),
dengan mendialogkan ayat al-qur’an tersebut dengan realitas objektif
kontemporer (external reality of meaning).
Itulah beberapa
aplikasi Syahrur ketika menerapkan Qira’ah Mu’asirah-nya terhadap
ayat-ayat al-qur’an. Setiap memberi makna terhadap kata-kata yang ada dalam
ayat beliau selalu memberi alasan-alasan secara ilmiah berdasarkan ayat-ayat
lain (interteks).
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Pendekatan linguistik dalam kajian islam adalah cara seorang
mengkaji memandang, membahas, dan menganalisa suatu objek agama islam dengan
menggunakan ilmu-ilmu atau teori-teori linguistik yang dipergunakan sebagai
alat bantu atau pisau analisis atas permasalahan sehingga tampak jelas objek
dan lingkup studinya.
Pendekatan linguistik menggunakan dua kategori dalam mengkaji islam,
yaitu analisis konsep dan analisis agama. Analisis konsep pada intinya
bermaksud menganalisis kata-kata yang dapat dikatakan sebagai kata kunci dari
sebuah konsep. Berbeda dengan analisis bahasa yang bermaksud mengetahui arti
sebenarnya dari sesuatu hal. Kedua analisis ini sangat diperlukan dalam
pendekatan kebahasaanAnalisis konsep pada intinya bermaksud menganalisis
kata-kata yang dapat dikatakan sebagai kata kunci dari sebuah konsep. Berbeda
dengan analisis bahasa yang bermaksud mengetahui arti sebenarnya dari sesuatu
hal. Kedua analisis ini sangat diperlukan dalam pendekatan kebahasaan.
Terdapat beberapa ilmu yang terkait dengan dengan pendekatan
linguistik dalam kajian islam, diantaranya: ilmu mantiq, semiotik islam, dan
hermeneutik islam.
Aplikasi pendekatan linguistik dalam mengkaji islam, diantaranya: rekonstruksi etimologi, rekonstruksi
morfologi, redefenisi.
3.2
Saran
Ulama-ulama zaman
dulu yang cenderung sangat arbitrer dalam memberi makna ayat, dan cenderung
mengabaikan konteks baik konteks struktural (sintagmatis) maupun konteks
sistemis (paradigmatis) sehingga penanda dalam hal ini ayat-ayat menjadi
kehilangan petanda serta signifikasinya dengan external reality of meaning,
sehingga memahami isi kandungan al-Qur’an
yang baik dan benar, menurut Doktor A’isyah Abdurahman atau yang biasa dikenal
dengan “Bintusy Syathi’” dibutuhkan kemampuan dalam memahami mufradat
(kosakata) al-Qur’an dan uslub (gaya bahasa)-nya, dengan pemahaman yang
bertumpu pada kajian metodologis-induktif dan menelusuri rahasia-rahasia
ungkapannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, dkk. Filsafat dan Bahasa dalam Studi Keislaman. 2006.
(Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga)
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. 2003. (Jakarta:
PT. Bumi Aksara)
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. 2012. (Jakarta: Rineke Cipta)
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa. 2009. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya)
Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi. Hermeneutika dan
Tafsir al-Qur’an. 2007. (Jakarta: Gema Insani)
Nurhakim, Mohammad. Metodologi Studi Islam. 2004. (Malang:
UMM Press)
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. 2013. (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media)
[1] Abdul
Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 33
[2] Moh.
Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 15
[3] Ibid.
[4] Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),
hlm. 50-51
[5] Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006),
hlm.50-51
[6] Asep
Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009),
hlm. 249-259
Tidak ada komentar:
Posting Komentar