Kamis, 10 Maret 2016

pendekatan linguistik dalam kajian islam

PENDEKATAN LINGUISTIK

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendekatan dalam Kajian Islam
Dosen Pengampu Bapak Dr. Ahmad Arifi, M.Ag

Disusun oleh
 Siti Mahdzuroh ( 1520410001 )

PRODI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM  MAGISTER
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

Maret, 2016

KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah Pendekatan dalam Kajian Islam tentang Pendekatan Linguistik
            Penulis menyadari bahwa materi yang disampaikan dalam makalah ini masih belum sempurna dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam makalah ini,makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para pembaca dan saran yang membangun serta bisa membantu untuk menyempurnakanya.
            Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.    Terima kasih kepada dosen mata kuliah Pendekatan dalam Kajian Islam yang telah membimbing kami sehingga bisa terselesaikan makalah ini dengan baik
2.    Terima kasih penulis tujukan kepada orang tua yang turut membantu secara tidak langsung melalui doa dan motivasinya
3.    Terima kasih kepada teman-teman yang telah meminjamkan buku untuk dijadikan referensi dalam menyelesaikan makalah
Yogyakarta, 3 Maret 2016

Penulis
Selama proses penulisan makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan.

                                                                         
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I, PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah................................................................................. 2
1.3  Tujuan .................................................................................................. 2
BAB II, PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Linguistik dan Bidang Kajian Linguistik ........................... 3
2.3  pengertian Pendekatan Linguistik ........................................................ 4
2.3 Kategori Pendekatan Linguistik dalam Kajian Islam ........................... 5
2.4  Ilmu yang Terkait dengan Linguistik dalam Mengkaji Islam ............... 6
2.5 Aplikasi Pendekatan Linguistik dalam Kajian Islam............................. 10
2.6 Kajian Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an ............................................. 16
BAB III, PENUTUP
3.1  Simpulan .............................................................................................. 21
3.2  Saran .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 23


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Baidan mengemukakan hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah: Saya telah meninggalkan dua pusaka padamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan Sunnahku.
Allah mewahyukan Al-Qur’an melalui bahasa yang jelas dan dapat dimengerti. Itulah sebabnya manusia dapat mempelajari al-Qur’an dari berbagai aspek, termasuk bahasa atau linguistiknya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Al-Qur’an sebagai petunjuk dapat dikaji dan diselami samudra hikmah dan keilmuanya dari berbagai aspek, sebagai kitab suci yang sempurna sudah tentu al-Qur’an dapat difahami dari sisi mana saja termasuk salah satunya dengan pendekatan linguistik. 
Didalam setiap kajian ilmiah, pemahaman yang benar harus memenuhi persyaratan kecerdasan, masuk akal sehingga dapat diikuti oleh orang yang mengikutinya dengan menggunakan penalarana yang wajar. Memang kecerdasan dapat berkembang dan berubah karena penemuan-penemuan baru.
Salah satu fungsi al-Qur’an adalah pemberi tuntunan kehidupan dan bahwa ia muncul pada waktu lampau yang sangat jauh dan tidak berbicara tentang realitas empirik secara rinci, melainkan mengenai bagaimana menjalani hidup dengan jalan Tuhan. Teks-teks kitab suci sudah selesai dibuat dengan gaya bahasa, cara pandang dan perangkat-perangkat keyakinan dan seterusnya yang berkaitan dengan penggunaan bahasa.
Islam lahir sebagai gejala lisan dan praktek tanpa tulisan, tetapi tidak lama kemudian terbentuk teks-teks tertulis yang menjadi sandaran utama dalam perumusan ajaran. Sebenarnya didalam kedua hal itu peran bahasa sangatlah besar.
Sebagai karya kebahasaan, teks-teks utama islam memerlukan penelitian kebahasaan sehingga munculah ilmu nahwu, sharaf, balaghah, ushul fiqh.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan linguistik dan apa saja bidang kajianya?
2.      Apa pengertian pendekatan linguistik dalam kajian islam?
3.      Bagaimana kategori pendekatan linguistik dalam kajian islam?
4.      Apa saja ilmu yang terkait dengan linguistik dalam mengkaji islam?
5.      Bagaimana aplikasi pendekatan linguistik dalam kajian islam?
6.      Bagaimana kajian linguistik dalam tafsir al-Qur’an?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui makna linguistik dan bidang kajianya
2.      Mengetahui pengertian pendekatan linguistik dalam kajian islam
3.      Mengetahui kategori pendekatan linguistik dalam kajian islam
4.      Mengetahui ilmu yang terkait dengan linguistik dalam mengkaji islam
5.      Mengetahui aplikasi pendekatan linguistik dalam kajian islam
6.      Mengetahui proses mengkaji tafsir al-Qur’an dengan linguistik




BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Linguistik dan Bidang Kajian Linguistik
Linguistik adalah studi bahasa secara ilmiah dengan fokus utamanya adalah struktur bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya adalah bagaimana orang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah bunyi yang diungkapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuanya.
Bahasa mempunyai beberapa sifat atau ciri, diantaranya:[1]
1.      Bahasa adalah sebuah sistem
2.      Bahasa itu berwujud lambang
3.      Bahasa itu berupa bunyi
4.      Bahasa itu bersifat arbitrer
5.      Bahasa itu bermakna
6.      Bahasa itu bersifat konvensional
7.      Bahasa itu bersifat unik
8.      Bahasa itu bersifat universal
9.      Bahasa itu bersifat produktif
10.  Bahasa itu bervariasi
11.  Bahasa itu bersifat dinamis
12.  Bahasa itu berfungsi sebagai alat interaksi sosial
13.  Bahasa itu merupakan identitas penuturnya
Ahli linguistik yang disebut linguis menurut Verhaar tidak berurusan dengan bahasa sebagai alat pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khas golongan sosial atau bahasa sebagai alat prosedur pengadilan, hal tersebut menjadi urusan ahli psikologi, sosial dan hukum sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik adalah bahasa sebagai bahasa.
Pembagian linguistik terdiri dari:
a)      Linguistik menurut objek kajiannya: linguistik mikro dan linguistik makro. Objek kajian linguistik mikro adalah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakup struktur fonologi (bunyi), morfologi (struktur kata), sintaksis(hubungan antar kata) dan semantik (makna). Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di luar bahasa seperti faktor sosiologis, psikologis, antropologi dan neurologi. 
b)      Linguistik menurut tujuan kajiannya: linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis seperti pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya.
c)      Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan sejarah linguistik mengakaji perkembangan ilmu linguistik mengenai tokoh-tokohnya, alira teorinya, amupun hasil kerjanya.
2.2 Pengertian Pendekatan Linguistik
Pendekatan adalah sudut pandang bagaimana suatu permasalahan didekati, dibahas, dan dianalisa, berdasarkan sudut (ilmu atau teori) tertentu, sehingga mendapatkan kesimpulan yang tepat. Pendekatan bersifat lebih operasional daripada paradigma tetapi tidak se-operasional metode apalagi tekhnik.[2]
Pendekatan dalam konteks studi islam adalah cara seorang pengkaji memandang, membahas, dan menganalisa suatu objek agama islam dengan menggunakan ilmu-ilmu atau teori-teori tertentu. Agama yang dijadikan objek studi dapat berupa dimensi ajaranya maupun realitasnya. Ilmu-ilmu atau teori tertentu itu pada dasarnya dipergunakan sebagai alat bantu atau pisau analisis atas permasalahan sehingga tampak jelas objek dan lingkup studinya.[3]
Menurut H. Huslof  yang dikemukakan oleh Tugiman dalam Jabrohim, pendekatan linguistik merupakan seperangkat istilah yang diperlukan dalam teori teks yang meliputi:  1) struktur luar (suface srtucture), 2) struktur dalam (deep structure), 3) transfomasi (transformation), 4) Parafrase (paraphrase), 5) interpretasi (interpretation).
Pendekatan linguistik dalam kajian islam adalah cara seorang mengkaji memandang, membahas, dan menganalisa suatu objek agama islam dengan menggunakan ilmu-ilmu atau teori-teori linguistik yang dipergunakan sebagai alat bantu atau pisau analisis atas permasalahan sehingga tampak jelas objek dan lingkup studinya.
2.3 Kategori Pendekatan Linguistik dalam Kajian Islam
Pendekatan linguistik yang digunakan dalam pengkajian islam biasanya menekankan pada dua kategori, yaitu analisis bahasa dan analisis konsep.[4] Analisis bahasa adalah usaha untuk mengadakan interpretasi yang menyangkut pendapat  atau banyak pendapat mengenai makna yang dimilikinya. Bahasa yang dimaksud adalah aspek rasionalnya, bukan emosionalnya. Analisis bahasa dalam pendekatan bahasa akan memfokuskan pada sumber-sumber tertulis sebagai sumber pengambilan data. Tulisan-tulisan yang telah didokumentasi itu dianalisis bahasanya sehingga diketahui makna penggunaan bahasa tersebut.
Analisis konsep digunakan untuk menganalisis istilah-istilah atau kata-kata yang mewakili gagasan atau konsep. Dalam melakukan analisis konsep, ada 4 hal yang perlu diperhatikan:
1.      Berusaha menemukan kembali arti suatu istilah
2.      Meninjau suatu konsep secara objektif
3.      Analisis konsep yang digunakan berdasarkan penerapan logika
4.      Proses penemuan dalam analisis konsep merupakan pemahaman yang jelas mengenai hubungan antara pikiran, bahasa dan realitas.
Analisis konsep pada intinya bermaksud menganalisis kata-kata yang dapat dikatakan sebagai kata kunci dari sebuah konsep. Berbeda dengan analisis bahasa yang bermaksud mengetahui arti sebenarnya dari sesuatu hal. Kedua analisis ini sangat diperlukan dalam pendekatan kebahasaan.[5]
2.4 Ilmu yang Terkait dengan Linguistik dalam Mengkaji Islam
Terdapat beberapa ilmu yang terkait dengan dengan pendekatan linguistik dalam kajian islam, diantaranya:[6]
1.      Ilmu mantiq
Istilah ilmu mantiq diambil dari kata an-nutqu yang artinya bicara atau berkata. Namun yang dimaksud dengan ilmu mantiq adalah ilmu berpikir atau logika. Hal ini karena para penganut logika dari kalangan muslim tertarik pada perkataan dimana antara aktivitas berpikir dan perkataan (kata, kalimat, dan proposisi) terdapat hubungan yang sangat erat, sebagaimana hubungan lafadz yaitu ucapan yang mengandung arti dan makna tidak bisa dipisahkan karena lafadz-lafadz itu sebagai tanda-tanda atau alat-alat makna.
Menurut para ahli mantiq, suatu ungkapan yang berupa proposisi (al-qadiyah) atau kalimat yang dituturkan oleh seseorang dikatakan benar dan mengandung makna jika ungkapan tersebut memenuhi syarat logika formal dan material. Artinya, bahwa ungkapan tersebut tidak hanya benar menurut standar logika formal seperti mengandung subjek dan predikat, tetapi sekaligus mencerminkan sebuah fakta.
Dalam pandangan ahli mantiq, suatu ungkapan atau kalimat yang tidak didasarkan pada bahasa logika atau tidak memenuhi unsur-unsur dan kaidah-kaidah ilmu mantiq maka ungkapan tersebut mengandung kesalahan, dan karenanya ia tidak akan memberikan makna yang sempurna (faidah) bagi siapa saja yang mendengarnya. Makna sebuah kalimat atau proposisi menurut ahli mantiq sangat bergantung pada benar tidaknya susunan kalimat tersebut dilihat dari aspek logika formal dan logika material. Sebuah proposisi belum dikatakan benar, jika ia hanya benar menurut logika formal sedangkan secara material sangat sulit dibuktikan kebenaranya.
2.      Semiotik islam
Semiotika sebagai ilmu tanda adalah berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. Bagi Peire makna tanda adalah mengemukakan sesuatu. Dalam islam, dasar-dasar semiotika tersebut adalah ada pada konsep dilalah, yaitu suatu hal yang dapat membangkitkan adanya petunjuk. Apa yang diacunya atau yang ditunjuknya disebut madlul.
Menurut ahli mantiq, ilmu mantiq adalah mempelajari bagaimana orang bernalar, atau bagaimana orang berfikir benar. Dalam hipotesis teori peire yang mendasar, bahwa penalaran itu dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berfikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
Dilalah itu dibagi menjadi enam macam:
1)      Dilalah lafdiyah aqliyah, ialah dilalah lafal (suara, ungkapan) yang didasarkan pada lafal yang rasional seperti suatu ucapan menunjukkan adanya orang yang mengucapkan
2)      Dilalah lafdiyah thabi’iyah, ialah dilalah lafal yang didasarkan pada tabiat atau kebiasaan seperti rintihan “aduh” menunjukkan kesakitan
3)      Dilalah lafdiyah wadh’iyah, ialah dilalah lafal yang didasarkan pada suatu lafal atau ungkapan yang sengaja ditetapkan atau dibuat, seperti ungkapan “al-insanu hayawanu nathiqun’ (manusia adalah binatang yang berpikir)
4)      Dilalah ghair-lafdiyah aqliyah, ialah dilalah yang disebabkan oleh adanya petunjuk atau tanda yang bisa disimpulkan secara rasional seperti kepulan asap menunjukkan adanya api
5)      Dilalah ghairu lafdiyah adiyah, ialah dilalah yang disebabkan oleh adanya kebiasaan (adat) seperti “merah muka” tandanya malu
6)      Dilalah ghairu lafdiyah wadh’iyah, ialah suatu dilalah yang didasarkan pada suatu ketetapan dan dibuat secara sengaja seperti “berkibarnya bendera setengah tiang” menunjukkan adanya pembesar negara yang meninggal dunia, atau seperti lampu merah tanda berhentinya lalu lintas.
3.      Hermeneutik islam
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Secara lebih luas istilah hermeneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.
Menurut Zygmunt Bauman hermeneutika adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang abstrak, belum jelas maknanya, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. Keraguan ini muncul adakalanya juga muncul ketika seseorang dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling berbeda penjelasanya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja melakukan kajian yang serius untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang jelas. Didunia islam kegiatan hermeneutika dalam pengertian yang terahir ini telah lama dilaksanakan, yaitu melalui disiplin ilmu tafsir. Objek utama dari disiplin ilmu ini adalah Al-qur’an. Dengan kegiatan semacam ini diharapkan kaum muslim mendapatkan penjelasan yang komprehensif mengenai isi kandungan Al-qur’an.
Terdapat dua istilah yang menunjukkan adanya kegiatan hermeneutika dalam islam, yaitu istilah tafsir dan ta’wil. Tafsir secara bahasa berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak dan pelik. Dengan demikian, tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksud oleh lafal dan melepaskan apa yang tertahan dari pemahaman. Sedangkan ta’wil menurut bahasa artinya kembali ke asal artinya kembali kepadanya dan memikirkan, memperkirakan, dan menafsirkanya.
Dipandang dari sudut hermeneutika, sebenarnya antara tafsir dan ta’wil tidak memiliki perbedaan yang subtansial, keduanya sama-sama mencari pemaknaan suatu teks. Jika tafsir berupaya mencari makna dzahir dari suatu teks (ayat Al-qur’an) yang pengertianya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah SWT, sedangkan ta’wil menguatkan sebagian makna dari beberapa makna yang tercakup dalam pengertian ayat (teks) yang mungkin mempunyai beberapa pengertian.
Dengan menggunakan metode tafsir dan ta’wil ini, selanjutnya para filosof dan ilmuan muslim membagi konsep makna menjadi dua jenis, yaitu manhtuq dan maffhum. Kata manhtuq secara leterlek adalah sesuatu yang diucapkan. Sedangkan secara istilah ialah suatu makna yang diperoleh dari lafal atau susunan lafal itu sendiri. Atau dengan kata lain manhtuq adalah suatu makna yang tersurat. Hal ini karena ia ditunjukkan oleh lafal menurut ucapanya, yaitu penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.
Kata mafhum secara leterlek artinya adalah sesuatu yang dipahami. Sedangkan secara luas artinya adalah suatu makna yang tidak diperoleh dari suatu lafal atau susunan, tetapi merupakan makna atau arti yang tersirat, yaitu makna yang ditunjukkan oleh lafal tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Contoh, firman Allah yang berbunyi, “falaa takul-lahuma uffin” yang berarti maka janganlah engkau berkata kepada kepada ibu bapakmu dengan ucapan uff (ah). Kata “uff” dinamakan manthuq karena itulah firman Allah. Dari ayat ini diperoleh  pengertian bahwa kita tidak boleh berkata “uff” kepada ibu bapak. Akan tetapi menurut mafhum lafal ini “janganlah engkau maki”. Kita dapat memperoleh pengertian kalau ucapan “uff” yang begitu kecil saja tidak boleh kita tujukan kepada ibu bapak, tentu memukul atau menganiaya yang lebih besar dari kata-kata semacam itu sudah pasti tidak boleh.
Sehingga, manthuq atau aspek luar sebuah teks adalah aspek tata bahasa dan kekhususan linguistik lainya. Mafhum atau aspek dalam adalah jiwanya sebuah teks. Bagi Freiderich Ast, tugas hermeneutik adalah membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta situasinya menurut zamanya.
2.5  Aplikasi Pendekatan Lingustik dalam Kajian Islam
contoh makna “Taqwa” jika dilihat dari segi linguistik, sebagai berikut;
1.      Rekonstruksi Etimologi
            Kalau kita masih menghargai bahwa asal-usul kata ini berasal dari bahasa Arab, maka seharusnya huruf Q pada kata Taqwa tidak diganti dengan K, hingga menjadi Takwa. Sebab, dari bahasa aslinya, kata ini memakai huruf Ta-Qaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Dan bukan Ta-Kaf-Waw-dan Y (Alif Maqsurah). Itu koreksi pertama, dari segi fonologi.
Taqwa, dan bukan Takwa.
2.      Rekonstruksi Morfologi
            Sejatinya, kata Taqwa itu bukanlah kata dasar. Tapi ia adalah bentuk turunan dari kata sifat “Quwaa” (Qaf-Waw-Ya) atau “Qawiyyun” yang artinya kuat. Huruf Ya pada kata Quwaa adalah alif Maqsurah -Ya tanpa 2 titik- yang berfungsi sebagai vocal panjang (long vowel).
            Kata “Quwaa” (kuat : kata sifat) ini mendapat prefix Ta. Prefix ini sendiri jika diasimilasi (dilebur) dengan kata sifat, membentuk makna “menjadi”. Peleburan prefix Ta (menjadi) dengan kata Quwaa (Kuat), membentuk kata TAQWA. Dengan demikian -secara morfologis- makna kata TAQWA adalah “Menjadi Kuat” atau “menguat-(kan)”, atau “memperkuat” atau “penguatan”. Attabik Ali dalam kamus bahasa Arabnya mencantumkan makna lain : “Menjadi Berani”.
            Proses asimilasi yang sama dapat pula dilakukan pada kata-kata sifat yang lain. Contoh kata: “Kabiir” (besar), jika diberi prefix “Ta”, maka berubah menjadi “TAKBIR”. Artinya adalah “menjadi besar” atau “membesar-(kan)”. “Qaliil” (sedikit) + prefix Ta menjadi Taqliil, yang artinya menjadi sedikit atau mereduksi atau pereduksian.
3.      Redefenisi
Redefenisi adalah memikirkan kembali segala hal yang menurut kita sudah benar kearah yang lebih sesuai dengan semangat jaman dan cita-cita. Atau menurut KBBI adalah kemampuan merumuskan batasan dengan melihatnya dari sudut lain dari cara yang lazim
            Jadi benarkah kalau taqwa itu sejajar maknanya dengan takut? Penelusuran makna Taqwa dari segi linguistik di atas menggambarkan kata taqwa sangat jauh kekerabatannya dari kata takut. Bahkan sama sekali tidak ada kekerabatan. Kata “takut” pada bahasa Arab (dalam Kamus dan dalam al-Qur’an) ada 2, yaitu Khaafa/Khauf dan Khasya.
            Dalam al-Qur’an, Takut (Khaafa/Khauf-Yakhaafu) dapat anda temukan pada QS. Al-An’am: 51
öÉRr&ur ÏmÎ/ tûïÏ%©!$# tbqèù$sƒs br& (#ÿrãt±øtä 4n<Î) óOÎgÎn/u   }§øŠs9 Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ @Í<ur Ÿwur ÓìÏÿx© öNßg¯=yè©9 tbqà)­Gtƒ ÇÎÊÈ
51.  Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.

dan Takut (Khasya-Yakhsya) pada QS. Annur:52.
`tBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur |·øƒsur ©!$# Ïmø)­Gtƒur y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrâͬ!$xÿø9$# ÇÎËÈ
52.  Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan[1046].

Perbedaan makna Takwa dan Takut jelas sekali digambarkan pada QS. Luqman:33
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# öNä3­/u (#öqt±÷z$#ur $YBöqtƒ žw Ìøgs ì$Î!#ur `tã ¾ÍnÏs9ur Ÿwur îŠqä9öqtB uqèd A%y` `tã ¾ÍnÏ$Î!#ur $º«øx© 4 žcÎ) yôãur «!$# A,ym ( Ÿxsù ãNà6¯R§äós? äo4quysø9$# $u÷R9$# Ÿwur Nà6¯R§äótƒ «!$$Î/ ârãtóø9$# ÇÌÌÈ
33.  Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.

            Pertanyaannya sekarang, kalau taqwa itu berarti “menjadi kuat”, lalu apa yang menjadi kuat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita perlu mendapatkan bantuan Sintaksis dari teksbook atau naskah. Teksbook atau naskah terbaik untuk tujuan itu adalah Kitab Suci al-Qur’an. Tiga buah terjemahan ayat berikut, dapat mengantar pemahaman kita ke arah tersebut.
(QS. Al-Baqarah:177)“……Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”.
* }§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ
177.  Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

 (QS. Al-Baqarah:183) Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
 (QS. Al-Hasyr : 18) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
            Ayat suci al-Qur’an yang memuat kalimat seruan “Hai orang-orang yang beriman”, dan kemudian diikuti dengan seruan “Bertaqwalah”, menjadi fenomena logis yang mengantar pada kesimpulan logis, bahwa kronologi kompetensi rohani yang berdampak pada kompetensi jasmani gerak-gerik perilaku- ummat Islam adalah dari beriman menjadi taqwa. Beriman adalah percaya. Sedangkan Taqwa/bertaqwa adalah melakukan aktifitas menguatkan keimanan/kepercayaan.
            Pemahaman yang lebih jelas dapat diperoleh Pada QS. Asy-Syu’araa. Pada Surah tersebut terdapat pertanyaan: “Mengapakah kamu tidak bertaqwa”, yang diulang sebanyak 5 kali. Pertanyaan tersebut di dahului dengan kata “mendustakan” yang juga diulang sebanyak 5 kali.
ôMt/¤x. îŠ%tæ tûüÎ=yößJø9$# ÇÊËÌÈ øŒÎ) tA$s% öNçlm; öNèdqäzr& îŠqèd Ÿwr& tbqà)­Gs? ÇÊËÍÈ
            Mendustakan adalah tidak mempercayai atau tidak mengimani. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dikatakan taqwa itu adalah kegiatan penguatan/menguatkan keimanan (kepercayaan), dan melemahkan pendustaan (ketidakpercayaan) atas eksistensi Allah SWT. Dan orang-orang yang melakukan aktivitas tersebut diberi gelar orang-orang yang bertaqwa (Muttaqiin).
            Lalu kenapa ada kalangan yang memaknai taqwa dengan takut? Jelas, ini diluar pembahasan linguistik. Boleh jadi, pemaknaan tersebut berdasarkan pendekatan psikologis, bahwa (rasa) takut akan siksa Allah dapat menyebabkan keimanan seseorang “menjadi kuat” (Taqwa). Jadi telah menjalani proses pemaknaan yang panjang, dan proses pemaknaan itu bukan secara linguistic tapi secara psikologis.
            Bagaimana pula Kata Taqwa itu sehingga dimaknai “melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan”? Ini pun di luar pembahasan linguistik. Atau, kalau pun masuk pembahasan linguistik, berarti masuk dalam pembahasan semantik yang sangat panjang.
            Yang jelas, Orang yang melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangannya belum tentu taqwa. Tapi sebaliknya, orang yang taqwa sudah jelas melaksanakan semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya.
Cukup penting memahami teks-teks keagamaan tidak hanya yang termaktub dalam al-Qur’an tetapi juga terhadap hadist Nabi. Dalam ajaran Islam banyak aturan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan tren-tren kebahasaan, seperti konsep kepercayaan yang terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin, kafir, fasik, murtad dan sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan yang berkaitan dengan relasi Tuhan dan manusia, seperti konsep Ibadah, jihad, hijrah, haji, zakat dan lain sebagainya.
Pemahaman tentang konsep-konsep keagamaan diawali dari pemahaman dari sudut kebahasaan sangat diperlukan, seperti contoh kata “Zakat”, pada awalnya kata zakat merujuk pada makna “tumbuh/berkembang”, namun setelah datang Islam, kata zakat memiliki makna yang lebih menyempit merujuk kepada batasan yang telah diwajibkan untuk “mengeluarkan harta kepada yang berhak”
Secara teori kebahasaan, suatu bahasa akan dapat mengalami perkembangan, pergeseran atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam bentuk meluas ataupun menyempit. Perubahan makna dapat juga berarti penggantian rujukan, rujukan yang pernah ada diganti dengan rujukan yang baru . Misalnya, kata “Hijrah” secara leksikal ia memilki makna “keluar dari suatu Negara ke Negara yang lain” . Namun ketika kata hijrah telah terhubung dengan kata iman dan jihad dalam sebuah kalimat maka makna yang terkandung didalamnya tidak hanya sekedar sebuah aktifitas perpindahan badan dari satu tempat ketempat yang lain. Dalam konteks ini kata hijrah akan mengalami perkembangan makna yang bisa jadi mengarah kepada perluasan maupun penyempitan. 
Umat Islam memahami kata “Sholat” sebagaimana pengertiannya dimasa jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab diartikan sebagai “do’a”, padahal setelah kata sholat digunakan dan dimasukan dalam tren yang sangat pokok dalam ajaran Islam, kata sholat telah mengalami pemaknaan yang lebih khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Untuk dapat mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah, mua’amalah dan akidah secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahasa memegang peran yang sangat besar.


2.6 Kajian Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an
            Berkaitan dengan hal ini, sebagai sebuah pisau analisis, pendekatan bahasa merupakan salah satu pendekatan yang sangat memungkinkan dalam studi al-Qur’an. Karena al-Qur’an merupakan produk “evolusi” kebudayaan masyarakat muslim, juga merupakan representasi nilai religius teologis muslim yang bercorak bahasa. Oleh karena itu untuk memahami dan mengkaji al-Qur’an, setidaknya diperlukan pisau analisis yang setara dengan corak yang dimilikinya, yaitu pendekatan linguistik.
            Berikut dalam artikel Ahmad Zaki Mubarok yang melihat bagaimana Strukturalisme Linguistik teraplikasikan dalam pembacaan Muhammad Syahrur terhadap ayat al-qur’an, yaitu  Q.S. Ali Imran ayat 14 Allah berfirman:
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
14.    Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Dari ayat tersebut Syahrur mengidentifikasi beberapa kata kunci. Pertama, “al-naas”, yang berarti keseluruhan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang berakal. Pengertian ini mendapatkan justifikasi dari ayat dalam Q.S. Al-Hujurat [49]: 13
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
13.  Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kedua, “hubb al-syahawaat”, yang berarti keinginan-keinginan manusia yang disadari dan disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan tradisi dan historis-sosiologis.
            Berangkat dari ayat tersebut, Syahrur berpendapat bahwa syahwat manusia yang pokok itu ada enam yaitu: 1) al-nisa’ (hal-hal yang mutakhir) 2) al-baniin (bangunan-bangunan megah) 3) al-Qanaatir al-muqantarah (harta yang banyak) 4) al-khail musawamah (kuda yang dihiasi; sekarang kendaraan mewah) dan 5) al-hars (kebun).
            Kata al-Nisaa tidak dimaknai dengan perempuan atau istri dalam pengertian yang lazimnya, dan kata al-baniin dengan anak-anak laki-laki sebagaimana para mufasir dulu bahkan sekarang, Namun kemudian penulis menemukan, di sinilah Strukturalisme Linguistik nampak konsisten dalam aktifitas pembacaan Muhammad Syahrur. Dengan titik pijak dari asumsi dasar bahwa bahasa adalah sebuah sistem sebagaimana telah didiskusikan di atas, serta bertumpu pada asumsi bahwa suatu makna kata itu ditentukan oleh relasi-relasi kata secara linear baik sebelum dan sesudahnya yang dalam tradisi Strukturalisme Linguistik disebut dengan hubungan sintagmatis. Sehingga kadang-kadang suatu kata yang sama akan memiliki arti yang berbeda-beda tergantung relasi atau konteks struktur-nya.
            Selain itu untuk mencapai berbagai pemaknaan baru tersebut, Syahrur juga nampak menguji kata-kata tersebut dengan menggunakan analisis paradigmatis, atau dengan melihat hubungan mata rantai dalam berbagai rangkaian ujaran, baik yang serupa maupun berbeda dalam bentuk dan makna.
            Dalam ayat tersebut Syahrur tidak memaknai kata al-nisa’ dengan istri atau perempuan berdasarkan beberapa “tanda” atau unsur elementer disekitar konteks kata al-nisa’ tersebut secara linear, yang akan menjadi rancu jika diartikan dengan istri atau perempuan. “Tanda-tanda” itu adalah;
            Pertama, sebelum kata hubb al-syahawaat min al-Nisaa’ terdapat kalimat “zuyyina li al-naas”. Kata al-naas itu sebagaimana dikemukakan diatas berarti manusia mencakup arti laki-laki dan perempuan. Jika al-nisaa’ dimaknai istri atau perempuan, maka mestinya bunyi ayat itu adalah Zuyyina li al-Rijal. Jika kata al-nisaa’ tetap diartikan perempuan, hal ini membawa implikasi bahwa berarti al-Qur’an membolehkan “aktifitas” biseksual (baca: lesbian/”hubungan” sesama perempuan), karena dalam kata al-naas sudah terkandung makna perempuan dan laki-laki. Kedua, di akhir ayat tersebut terdapat serangkaian tanda “zaalika mataa’ al-hayaah al-dunyaa” yang jika kata al-nisaa’ diartikan sebagai perempuan atau istri, maka itu berarti perempuan atau istri tersebut merupakan kebutuhan manusia yang disejajarkan dengan makan, minum, tempat tinggal, kendaraan dst. Kemudian jika al-nisa’ diartikan perempuan, berarti al-Qur’an seolah mensejajarkan perempuan dengan barang-barang atau hewan yang tidak berakal seperti disebut dalam ayat al-Qanatr al-muqantarah wa al-khail al-musawwamah dan lain sebagainya. Mensejajarkan perempuan dengan yang tak berakal seperti ini adalah pandangan yang pejoratif dan tidak dapat diterima, sebab banyak ayat lain yang menjelaskan tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang sama-sama sebagai punya akal. Maka bagi Syahrur kata al-nisaa’ dalam ayat tersebut tidak dapat diartikan dengan perempuan, sebab ada makna lain selain makna perempuan. Makna lain itu bisa dilacak dari genealogis kata al-nisaa’ yang dalam bahasa arab berasal dari  yang artinya al-Ta’khir (datang belakangan, hal-hal yang mutakhir).
            Kemudian Syahrur mengemukakan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat kata al-nisaa’, namun dikarenakan konteks strukturnya (siyaaq) berbeda dengan ayat Ali Imraan : 14 diatas, kata al-nisaa’ disini menurutnya tepat jika dimaknai dengan istri atau perempuan. Ada pun ayat-ayat tersebut adalah:
 (Q.S Al-Nisa’[4]: 34)
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$#
 (Q.S. al-Nisaa’ [4]: 32)
4 ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB (#qç6|¡oKò2$# ( Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $®ÿÊeE tû÷ù|¡tGø.$# 4
 (Q.S. al-Nisaa’[4]: 1)
£]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4
            Kata nisaa’ dalam ayat-ayat tersebut di atas dapat diartikan istri atau perempuan sebab hubungan-hubungan kata sebelum dan sesudahnya mengharuskan untuk mamaknai kata al-nisaa dengan perempuan atau istri. Dengan kata lain ada oposisi biner (biner opposition) yang jelas dalam ayat-ayat tersebut.
            Begitu pula kata baniin yang bermakna anak laki-laki. Itu dapat dilihat dalam ayat-ayat yang punya oposisi biner yang jelas, misalnya: (Q.S. Al-Safat [37] : 149)
óOÎgÏFøÿtGó$$sù y7În/tÏ9r& ßN$uZt6ø9$# ÞOßgs9ur šcqãZt6ø9$# ÇÊÍÒÈ
Sedangkan untuk kata al-baniin, dalam Q.S. Ali Imraan [3]: 14 tidak dapat dimaknai anak laki-laki, sebab tidak punya biner opposition yang jelas dalam ayat tersebut. Secara semantis, kata banin berasal dari kata banana bi ma’na al-luzum wal Iqamah artinya tegak yang merujuk kepada sifat-sifat dari bangunan. Untuk mendukung pengertian bahwa kata banin bermakna bangunan Syahrur merujuk secara paradigmatis ayat lain dalam (Q.S. al-Syu’ara’ [26]: 133). yang berbunyi:
/ä.£tBr& 5O»yè÷Rr'Î/ tûüÏZt/ur ÇÊÌÌÈ
Sedangkan kata ibn yang artinya anak laki-laki menurut Syahrur berasal dari kata banawa, jama’nya adalah kata abna’.
            Dari contoh aplikasi Strukturalisme Linguistik dalam aktifitas “pembacaan” Syahrur di atas nampak jelas bahwa Syahrur bertolak dari asumsi bahasa sebagai sebuah sistem, di mana yang terpenting adalah relasi antara unsur bahasa tersebut baik secara linear (struktural-sintagmatis) maupun secara asosiatif (sistemis-paradigmatis). Di sini juga nampak Syahrur menelaah ayat tersebut dari dua perspektif linguistik yang dibedakan secara tegas oleh Ferdinand de Saussure, yaitu perspektif sinkronis dan diakronis. Perspektif sinkronis terlihat dari perhatian Syahrur terhadap relasi struktural tiap unsur bahasa yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Sedangkan upaya Syahrur untuk melacak akar semantis atau genealogis berbagai kata kunci dalam ayat tersebut, melukiskan bahwa ia juga memperhatikan perspektif diakronis, walaupun tidak secara radic sampai melacak asal-usul kata tertentu. Namun dari dua perspektif ini, nampaknya perspektif sinkronis-lah yang menjadi titik tumpu Syahrur untuk melakukan signifikasi pemaknaan. Hal ini terlihat dari upaya Syahrur untuk memahami ayat tersebut dari perspektif “kekinian” atau kontemporer (mu’asirah), dengan mendialogkan ayat al-qur’an tersebut dengan realitas objektif kontemporer (external reality of meaning).
            Itulah beberapa aplikasi Syahrur ketika menerapkan Qira’ah Mu’asirah-nya terhadap ayat-ayat al-qur’an. Setiap memberi makna terhadap kata-kata yang ada dalam ayat beliau selalu memberi alasan-alasan secara ilmiah berdasarkan ayat-ayat lain (interteks).








BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Pendekatan linguistik dalam kajian islam adalah cara seorang mengkaji memandang, membahas, dan menganalisa suatu objek agama islam dengan menggunakan ilmu-ilmu atau teori-teori linguistik yang dipergunakan sebagai alat bantu atau pisau analisis atas permasalahan sehingga tampak jelas objek dan lingkup studinya.
Pendekatan linguistik menggunakan dua kategori dalam mengkaji islam, yaitu analisis konsep dan analisis agama. Analisis konsep pada intinya bermaksud menganalisis kata-kata yang dapat dikatakan sebagai kata kunci dari sebuah konsep. Berbeda dengan analisis bahasa yang bermaksud mengetahui arti sebenarnya dari sesuatu hal. Kedua analisis ini sangat diperlukan dalam pendekatan kebahasaanAnalisis konsep pada intinya bermaksud menganalisis kata-kata yang dapat dikatakan sebagai kata kunci dari sebuah konsep. Berbeda dengan analisis bahasa yang bermaksud mengetahui arti sebenarnya dari sesuatu hal. Kedua analisis ini sangat diperlukan dalam pendekatan kebahasaan.
Terdapat beberapa ilmu yang terkait dengan dengan pendekatan linguistik dalam kajian islam, diantaranya: ilmu mantiq, semiotik islam, dan hermeneutik islam.
Aplikasi pendekatan linguistik dalam mengkaji islam, diantaranya: rekonstruksi etimologi, rekonstruksi morfologi, redefenisi.
3.2  Saran
Ulama-ulama zaman dulu yang cenderung sangat arbitrer dalam memberi makna ayat, dan cenderung mengabaikan konteks baik konteks struktural (sintagmatis) maupun konteks sistemis (paradigmatis) sehingga penanda dalam hal ini ayat-ayat menjadi kehilangan petanda serta signifikasinya dengan external reality of meaning, sehingga memahami isi kandungan al-Qur’an yang baik dan benar, menurut Doktor A’isyah Abdurahman atau yang biasa dikenal dengan “Bintusy Syathi’” dibutuhkan kemampuan dalam memahami mufradat (kosakata) al-Qur’an dan uslub (gaya bahasa)-nya, dengan pemahaman yang bertumpu pada kajian metodologis-induktif dan menelusuri rahasia-rahasia ungkapannya.

























DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, dkk. Filsafat dan Bahasa dalam Studi Keislaman. 2006. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga)
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. 2003. (Jakarta: PT. Bumi Aksara)
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. 2012. (Jakarta: Rineke Cipta)
Hidayat, Asep Ahmad. Filsafat Bahasa. 2009. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya)
Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi. Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an. 2007. (Jakarta: Gema Insani)
Nurhakim, Mohammad. Metodologi Studi Islam. 2004. (Malang: UMM Press)
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. 2013. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media)


[1] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 33
[2] Moh. Nurhakim, Metodologi Studi Islam, (Malang: UMM Press, 2004), hlm. 15
[3] Ibid.
[4] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 50-51
[5] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), hlm.50-51
[6] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 249-259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar