Kamis, 08 Januari 2015

aliran filsafat islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Agama adalah sebuah ajaran yang universal dan abstrak, ia merupakan suara langit yang berusaha untuk menyentuh realitas. Ajaran semacam ini tidak akan mampu turun ke bumi kalau tanpa diperantarai oleh akal dan rasionlaitas. Bahasa agama selamanya akan terus melangit, tidak akan mampu dipahami oleh manusia di bumi kalau peran akal untuk mensosialisasikan bahasa tersebut dinafikan. Akal adalah perangkat utama untuk mengkomunikasikan bahasa langit itu kepada penduduk bumi dan inilah yang terjadi di Islam.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh filsof muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Shina, Ibnu Rushd, Ibnu ‘Araby, Mulla Shadra dan sederet filsof muslim lainnya mempunyai ghirrah untuk menerapkan filsafat sebagai logika formal dalam memahami agama. Dan terbukti, setelah agama bisa didekatkan dengan filsafat, Islam mengalami kejayaan dalam ilmu pengetahuan.

1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:
1.      Apa saja aliran-aliran filsafat Islam?
2.      Bagaimana karakteristik masing-masing aliran filsafat Islam?
3.      Bagaimana pengaruh aliran-aliran filsafat Islam terhadap kehidupan masyarakat?
1.3        Tujuan
Dari rumusan masalah yang ada, tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1.      Dapat menjelaskan aliran-aliran filsafat Islam.
2.      Dapat menunjukkan karakteristik dari aliran-aliran filsafat Islam.
3.      Dapat mendiskripsikan pengaruh aliran-aliran filsafat Islam terhadap kehidupan masyarakat.
1.4        Manfaat
Penulisan makalah ini tentu memiliki target pencapaian yang nantinya akan bermanfaat pada pembaca, manfaatnya antara lain sebagai berikut:
1.      Menambah pengetahuan mendasar akan inti pemikiran aliran-aliran filsafat Islam.
2.      Menanamkan penalaran berfilsafat Islami, sehingga menjadi kritis terhadap setiap keadaan.
3.      Memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan.
4.      Merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1        Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam.
A.    Peripatetik (memutar atau berkeliling)
Merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.
Filsafat paripatetik ini berasumsi bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).

B.     Aliran Iluminasionis (Isyraqi).
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).

C.    Aliran Irfani (Tasawuf)
Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
D.    Aliran Transendental (Madzhab Isfahan).
Filsafat madzhab Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat tinggi. Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini. Oleh karena itu filsafat Hikmah (Al-Hikmatul Muta’aliyyah) atau mdazhab Isfahan ini merupakan fiilsafat yang bermuara pada kedua tokoh guru murid tersebut.
Madzhab ini muncul ketika dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz, kemudian ke Qazwin dan terakhir di Isfahan. Pada periode ini, Madzhab Isfahan berhasil membangun teologi yang kukuh, dan Persia mengalami salah satu periode terbesar dalam kemakmuran politik dan materialnya. Namun pada perjalanan selanjutnya, dalam usaha yang tak kenal untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya dinasti shafawiyyah membutuhkan ahli fiqh dan para ahli Syi’ah dogmatis. Ini belum lagi para pengkhutbah dan para ulama yang ditugaskan untuk menyebarluaskan idiologi negara.
Inti madzhab isfahan ini adalah upaya untuk menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam sejarah intelektual Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang selaras. Hingga puncak gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi, upaya-upaya Mir Damad haruslah dianggap sebagai kerangka persiapan..
Pada mulanya terdapat beragam pertentangan intelelektual Islam. Satu sisi ada kelompok filsafat, kemudian kaum sufistik dan dogmatikawan Syi’ah. Ketiga kelompok ini memunculkan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan. Hal ini terutama para doktrinal Syi’ah yang didukung oleh penguasa Shafawiyyah hendak membabat habis para filosof. Praktik filsafat yang diupayakan oleh para filosof Persia dianggap sebagai amalan berbahaya dan mempunyai resiko bahaya bagi merek asendiri.
Hal ini mempengaruhi terhadap kebijakan politik Bani shafawiyyah. Penguasa shafawiyyah tidak mengalokasikan anggaran untuk studi filsafat. Hal ini diperparah dengan serangan yang keras dari para dogmatikawan Syi’ah. Mereka menilai negatif para filsof dengan menganggap bahwa para filosof adalah orang-orang kafir dan menghina Tuhan. Tantangan yang hendak dipenuhi oleh madzhab Isfahan adalah mengawinkan semua diskursus yang beragam dan bertentangan mengenai pemahaman yang sah yang secara historis telah mengkotak-kotakan kaum muslimin dan selanjutnya menemptkan Syi’ah yang memimpin semua itu. Butir-butir penting isinya bukan hanya membuat tradisi filsafat madzhab peripatetik dan ilumininsme, melainkan juga gnosis versi Ibnu Arabi san Syai’ah periode pasca Ghaibah.
Terilhami oleh cita-cita itu, Mulla Shadra, sebagai murid kaliber Mir Damad, kemudian mengembangkan filsafat yang revolusioner dan ambisius dalam upaya membuat sintesis yang menyeluruh, bukan hanya antara orientasi-orientasi beragam dalam tradisi paripatetik dan illuminisme Islam, melainkan yang lebih mendasar lagi, mengkoordinasikan sintesis yang sulit itu dengan dioktrin gnosis dan doktrin fiqh Syai’ah.
Filsafat ini secara umum bertumpu pada tiga teori yaitu kesatuan wujud (wahdatul wujud), keutamaan wujud (ashalatul wujud), gerak substansial (alkharokatul jauhuhariyyah) dan kemanunggalan yang mengetahui dan diketahui (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Filsafat ini berusaha menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik. Oleh karena itu, titik tolak dari seluruh bangunan filsafat Isfahan ini adalah konsep Ada (wujud). Jadi obyek material filsafat ini yang paling pokok adalah Being atau Ada.

2.2        Karakteristik Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam.
A.    Peripatetik (memutar atau berkeliling)
Kerakter aliran Peripatetik ini sebagai berikut:
1.      Menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.
2.      Logika yang dibangun adalah logika emanasi.
B.     Aliran Iluminasionis (Isyraqi).
Kerakter aliran filsafat ini sebagai berikut:
1.      Lebih suka menggunakan keraifan lokal dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme, budaya lokal, yakni budaya ketimuran.
2.      Dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi.
3.      Logika yang dibangun adalah logika emanasi.
C.    Aliran Irfani (Tasawuf).
Kerakter aliran filsafat Irfani ini sebagai berikut:
1.      Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional.
2.      Pengenalan sufistik bertumpu pada hati.
D.    Aliran Madzhab Isfahan (Teosofi Transeden).
Kerakter aliran filsafat ini sebagai berikut:
1.      Berdasarkan pada konsep ada (Being).
2.      Menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik.
3.      Pemikirannya lebih terbuka.
2.1        Pengaruh Aliran-aliran Filsafat Islam Terhadap Kehidupan Masyarakat.
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan, hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya. Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat kauniyyah, sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
Untuk pengaruh aliran filsafat Islam dapat dilihat dari berbagai sisi. Karena para tokoh pemikirnya itu juga beragam sudut pandangnya. Misalnya Ibnu Sina yang cenderung lebih kepada persoalan kesehatan. Begitu juga tokoh-tokoh yang lain.Dari itu, pengaruh  aliran aliran tersebut sangat terasa bagi kita.




BAB III
PENUTUP

3.1        Kasimpulan
Filsafat Islam muncul pada awalnya adalah diorong oleh sebuah cita-cita terciptanya keterpaduan antara akal dan wahyu, rasio dan hati, agama dan logika. Memang, meskipun dalam ajaran Islam, aqal mendapatkan porsi yang cukup besar, namun dalam praktiknya umat Islam justru banyak yang meninggalkan aqal. Kehendak umat Islam untuk jauh dari tradisi rasionalitas itu justru dengan alasan untuk praktik keberagamaan itu sendiri. Secara umum umat Islam mempunyai asumsi kuat bahwa Islam adalah wahyu yang keberadaannya harus diterima secara taken for granted, sebuah produk yang sudah sempurna sehingga pengimplementasiannya ke dalam ranah empirik tidak memerlukan sentuhan rasionalitas lagi.
Menurut Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni: 1). Peripatetik (memutar atau berkeliling). Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme). Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274). 2). Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. 3). Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi. 4). Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakilioleh seorang filosof syi’ah yakni Mulla Shadra, dia seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.



Daftar Pustaka

-          Nasr, Sayyed Hosein. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
-          Ziai, Hosein. 2003. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
-          Bagir, Haidar. 2006. Buku Saku Filasafat Islam. Bandung: Mizan.
-          Abuddin Nata, M.A.1997.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
-          Zuhairini. Dra, dkk. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.




















1 komentar: