Senin, 19 Januari 2015

ilmu fiqh pada masa kemunduran

ILMU FIQH PADA MASA KEMUNDURAN


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Memenuhi Tugas
Mata Kuliah studi fiqh
Dosen Pengampu Bapak Mubaligh, M.Hi


Oleh kelompok Sembilan:
Siti Mahdzuroh (10330094)






Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Humaniora dan Budaya
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang

Oktober , 2011

KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula kami dapat menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah tentang pengetahuan masa kemunduran ilmu fiqih.
            Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam makalah ini masih belum sempurna dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam makalah ini, makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para pembaca dan saran yang membangun dan bisa membantu kami untuk menyempurnakanya.
            Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.      Kami berterima kasih kepada dosen mata kuliah studi fiqih yang telah membimbing kami sehingga bisa terselesaikan makalah ini Insya Allah dengan baik
2.      Terima kasih kapada kelompok 10 yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, dan dana untuk menyelesaikan makalah ini
3.      Terima kasih kami tujukan kepada orang tua kami yang turut membantu kami secara tidak langsung melalui doa dan motivasinya
4.      Terima kasih kepada kakak-kakak senior yang telah meminjamkan buku untuk kami jadikan referensi dalam menyelesaikan makalah
Selama proses penulisan makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang berlipat  ganda. Amin
                                                                                                                    Malang
                                                                                                                18-12-2011
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................      i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... .... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan........................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Masa Kemunduran Ilmu fiqh .......................................................................................... 3
2.2 Kemunculan Taqlid Pada Masa Kemunduran ................................................................. 3
2.2.1 Faktor Kemunculan Taqlid.................................................................................. 3
2.2.2 Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid ..................................... 6
2.3 Kemunculan Jumud pada Masa Kemunduran ................................................................ 9
2.31 Kontribusi Fuqoha’ pada Periode Ini................................................................. 10
2.3.2 Dampak Kejumudan Ini Terhadap Fiqh Islam.................................................. 10
2.4 Faktor Kemunduran Fiqh pada Periode Ini................................................................... 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 13
3.2 Saran...........................................................................................................................   14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 15

BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
       Sejak permulaan abad ke-4 Hijriyah atau abad ke-10-13 Masehi, Ilmu fiqh mulai berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku berbagai madzhab yang dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-soal pokok, tetapi soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting).
       Sejak itu mulailah gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (Ittiba’-Taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini tidak lagi menggali hukum fiqh Islam dari sumbernya yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam madzhabnya masing-masing. Kalau orang menulis masalah hukum tulisan itu biasanya hanya merupakan komentar atau catatan-catatan terhadap pikiran-pikiran hukum yang terdapat dan telah ada dalam madzhabnya sendiri. [1] Era taqlid ini kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
       Periode ini disebut dengan periode taqlid karena para fuqaha’ pada zaman tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali serta madzhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Kapan ilmu fiqh mengalami kemunduran?
2.      Bagaimana kemunculan taqlid pada masa kemunduran ilmu fiqh?
3.      Bagaimana kemunculan jumud pada masa kemunduran ilmu fiqh?
4.      Apa faktor kemunduran ilmu fiqh?

1.3 Tujuan
1.  Untuk mengetahui waktu fiqh mengalami kemunduran.
2.  Untuk mengetahui sejarah kemunculan taqlid.
3.  Untuk mengetahui sejarah kemunculan jumud.
4.  Untuk mengetahui faktor kemunduran fiqh.





















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masa Kemunduran Ilmu Fiqh
       Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir abad ketiga belas hijriah. Dikarenakan periode ini mencakup dua fase yang bertautan, fase pertama masih terkait dengan fase kedua secara langsung maka disini kami akan menjelaskan periode ini dengan mengupas dua fase ini secara intensif. Pertama, tentang era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
 



2.2 Kemunculan Taqlid pada Masa Kemunduran
       Menurut Asy-Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin taqlid secara bahasa adalah وضع الشيئ في العنق محيطا به كالقلادة artinya “meletakkan sesuatudi leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang.” Sedangkan secara istilah adalah اتباع من ليس قوله حجة artinya “mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah.”[2] Sehingga kita tau faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi Negara kecil, dimana setiap negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin. Di timur ada Negara Sasan denga ibu kota Bukhara, dan di Andalusia ada Negara kecil yang didirikan oleh Abdurrahman An-Nashir, demikian juga Negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika. Sehingga memudahkan musuh islam untuk menghancurkan Negara Islam dan terjadilah perang salib.
2.2.1 Faktor Kemunculan Taqlid
      
       Dari penjelasan diatas kita tau bahwa ada sebagian fuqaha’ yang memiliki kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab baru, serta merasa sudah cukup dengan madzhab yang ada. Kemudian mereka pun bertaqlid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam madzhab. Adapun sebab terjadinya taqlid, diantaranya sebagai berikut:[3]
1.    Pembukuan kitab madzhab
Yang mendorong para ulama’ untuk berijtihad pada zaman itu karena ingin mengetahui hukum dari sebuah masalah yang baru muncul ditengah masyarakat yang belum ada hukumnya. Maka ketika para ulama’ mujtahid terdahulu sudah menulisnya kemudian datanglah para ulama’ pada periode ini dan  mendapatkan segalanya sudah tersedia dan lengkap sehingga tidak ada lagi keinginan untuk berijtihad. Semua permasalahan yang dicari sudah ada jawabanya, baik masalah yang besar atau kecil sehingga tidak ada lagi hajat untuk mencari kembali, semua madzhab sudah menyediakan hidangan fiqhnya.
2.    Fanatisme madzhab
Para ulama’ pada periode ini sibuk dengan menyebarkan ajaran madzhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’. Bahkan sampai kepada tingkat dimana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan kebenaran semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama’ yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama’ Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan “setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat madzhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan”, termasuk juga hadist nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari ijtihad. Sebab, jika ia sudah menyakini sebuah doktrin, berlabuh dalam lautanya, berdiri tegak tidak mau beranjak, segala keputusan ada padanya, dan pada akhirnya inilah bentuk sebuah kejumudan (kebuntuan) berfikir.
3.    Jabatan hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Al-quran dan sunnah Rasullah serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus berdasarkan pada Al-quran, sunnah Rasul-Nya, dan logika yang dekat dengan kebenaran. Buktinya, surat yang ditulis oleh Umar bin Khattab kepada hakimnya, Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata kepadanya, “jabatan hakim itu adalah sebuah kewajiban yang sudah ditetapkan dan warisan yang diikuti, maka pahami dan pahami setiap masalah yang disampaikan kepadamu yang tidak ada dalam Al-quran dan sunnah, kemudian tetapkanlah yang ada kemiripan, dan carilah yang sepadan, kemudian peganglah yang kamu lihat lebih dicintai Allah dan lebih dekat dengan kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama dengan pergeseran waktu, para khalifah pun lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa ber-taqlid, ikut pada pendapat madzhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu madzhab dan tidak melangkahinya.
4.    Ditutupnya pintu ijtihad
Petaka besar menimpa fiqh islam pada periode ini dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan merek sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqh yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama’ untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan ayat keempat hijriyah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah member efek yang negative terhadap fiqh islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqaha’ periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama’ gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan penutuppintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan, niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqh islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
2.2.2 Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid
Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini, dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu terhimpun dalam beberapa hal sebagai berikut:[4]
1.    Ta’lil (rasionalisasi hukum-hukum fiqh)
Pada zaman ini para ulama’ menemukan banyak sekali khazanah fiqh yang diwariskan oleh generasi sebelumnya, namun mayoritas warisan fiqh ini masih belum menyebutkan illat-nya (hikmah atau alasanya). Kemudian masing-masing fuqaha’ madzhab mengkaji, berijtihad, dan mengistinbat illat hukum fiqh yang diwariskan oleh imamnya. Melalui cara ini mereka bisa menentukan hukum bagi masalah baru yang tidak sempat dibahas oleh para imam madzhab sebelumnya.
Mereka menambahkan hukum-hukum syar’I baru tersebut kedalam fiqh madzhab yang tidak terdapat didalamnya nash imam madzhab, kemudian hasil kajian ini dinisbatkan kepada pendapat madzhab karena dasarnya diambil dari fiqh madzhab.
Tentu inisebuah  hasil ijtihad dari mereka namun bukan ijtihad mutlak. Ini merupakan ijtihad khusus yang berputar disekitar madzhab-madzhab tertentu, yaitu apa yang dinamakan ushul takhrij dan mereka dinamakan ulama’takhrij.
Fuqaha’ hanafiyah paling banyak menggunakan konsep eksplorasi illat-illat hukum dan membahas tentang ushul madzhab Imam Abu Hanifah,karena madzhab mereka dibangun diatas apa yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani yang sarat dengan masalah fiqh. Akan tetapi makalah ini tidak menyebutkan illat-illat (hikamah) lalu mereka berijtihad mencarinya dan berupaya mengetahui ushul madzhabnya.
Adapun yang mendorong para ulama’ Hanafiyah untuk melakukan hal ini adalah adanya debat dan diskusi ilmiah yang mereka lakukan dengan ulama’-ulama’ Syafi’iyah tentang beberapa masalah fiqh. Sudah tentu masing-masing madzhab akan berupaya memenangkan madzhabnya dengan dalil yang kuta sehingga tidak dapat dipatahkan oleh lawan.a
Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah, mereka mendapati semua pendapat imam mereka penuh dengan dalil dan ada illat-nya. Selain itu, juga ada ushul madzhabnya yang ditulis dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’I dan ialah yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh.
Oleh karena itu, mereka tidak perlu lagi mencari prinsip dasar madzhab sang imam dan illat-illat hukum pada masyarakat.
Adapun fuqaha’ madzhab Malikiyah dan Hanabilah, mereka belum memberikan perhatian dalam masalah ini secara serius karena mereka jauh dari medan debat dan diskusi ilmiah seperti yang dialami oleh para fuqaha’ pada umumnya pada periode ini.
2.    Tarjih
Para fuqaha’ periode ini mempunyai jasa yang besar dalam men-tarjih (menguatkan) antara pendapat-pendapat yang berbeda-beda dalam madzhab yang diriwayatkan dari imam madzhab dan tarjih ini terdiri dari dua jenis. Pertama, tarjih dari aspek riwayat, dan kedua, tarjih dari aspek dirayah.
3.    Upaya pembelaan madzhab dan penulisan fiqh perbandingan
Seperti yang sudah kami jelaskan diatas, betapa debat dan diskusi ilmiah diantara para ulama’ telah memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan secara umum dan fiqh islam khususnya. Ini terjadi ketika debat dan diskusi bertujuan untuk mencari kebenaran dan inilah yang terjadi pada zaman imam-imam madzhab.
Akan tetapi, fiqh pada fase  ini telah berubah haluan. Masing-masing fuqaha’ madzhab sibuk memperjuangkan madzhabnya sendiri dengan menempuh dua cara berikut.
Pertama, menulis buku tentang keutamaan imam
Masing-masing pihak menulis buku tentang kelebihan yang dimiliki oleh sang imam dalam bentuk syair dan prosa yang disebarkan kepada masyarakat umum dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas kepada imamnya.
Penulisan ini tidak hanya terbatas kepada fuqaha’ satu madzhab, namun juga dilakukan oleh semua pengikuta madzhab. Pengikut Imam Abu Hanifah menulis tentang keutamaan Imam Abu Hanifah dalam beberapa buku untuk menjelaskan keluasan ilmu, ke-wara’an, kejujuran, dan kemampuan sang imam dalam meng-istinbat hukum dari  Al-quran dan sunnah.
Demikian juga dengan ulama’-ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, mereka semua menulis buku tentang imam untuk mempromosikanya sehingga mempunyai pengikuta yang banyak. Dengan demikian menyebarlah fiqh madzhab dan muncul kepermukaan bersama dengan para pengikutnya, menjadi kebanggaan umat, dan tertuang dalam berbagai jenis kitab-kitab yang tidak terhitung jumlahnya.
Kedua, penulisan kitab-kitab fiqh perbandingan
Hal ini mencakup semua masalah khilafiyah diantara para fuqaha’ madzhab dengan metode sebagai berikut.
a.       Menyebutkan satu masalah dan hukumnya pada setiap madzhab.
b.      Menyebutkan dalil hukumnya dari setiap imam.
c.       Kemudian membandingkan semua dalil yang ada dan lalu men-tarjih  dalil madzhab mereka apapun kondisinya. Upaya ini kemudian dinamakan dengan penulisan kitab fiqh komparasi.
Tentu usaha ini   sangat baik dan dapat membantu kita untuk memahami pendapat yang kuat secara pasti, jika memang bertujuan mencari kebenanrana tanpa ada rasa fanatic madzhab. Akan tetapi pada kenyataanya hal ini sangat berbeda sekali, yang tampak bagi para penulis kitab sejarah tasyri’ islam pada zaman ini adalah rasa fanatic dan ingin memenangkan madzhad sendiri.
Mereka berdalil bahwa perbuatan ini mengandung unsure berlebih-lebihan dan sangat terlihat pada banyak masalah yang dikaji dalam fiqh madzhab.
Dan terkadang mereka terbawa perasaan saling menghujat dan melampaui batas, suatu kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi diantara para imam madzhab itu sendiri, yaitu kompetisi ilmiah yang mulia untuk mencari kebenaran tanpa fanatic dan berlebih-lebihan, yang mereka lakukan sama dengan apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.
2.3 Kemunculan Jumud Pada Masa Kemunduran
       Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan. Periode ini dimulai sejak tahun 656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas.
Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jika di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
 Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqoha’ juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu lalu difafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapaa penjelasan singkat.
Akibatnya, apa yang mereka hasilkan berbeda sekali dengan hasil karya para pendahulu. Jika para pendahulu membuat uraian, talil hukum, mentarjih pendapat yang kuat dan memilih pendapat yang ditopang olegh dalil, namun pada masa ini semuanya serba ringkas dan terbatas. Tujuan para fuqoha’ pada masa ini adalah mewujudkan dua hal: Pertama, agar masyarakat mudah memahami masalah fiqh. Kedua, memudahkan para pelajar menghafal kandungan fiqh madzhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji kitab-kitab besar sedikit demi sedikit.

2.3.1 Kontribusi Fuqoha’ pada Periode Ini

Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada beberapa hal sebagai berikut:[5]
1.    Penulisan Matan (Teks)
Yaitu tulisan ringkas. Penulisan matan menjadi tren sepanjang periode ini, bahkan menjadi konsentrasi fuqoha’, hingga ada yang mengatakan, “Siapa yang menghafal matan (teks), maka ia akan mendapat ilmu banyak.
Jenis penulisan seperti ini belum muncul kecuali pada fase kedua dari periode ini, menjadi hobi para fuqoha’ sampai kepada tingkat rumus-rumus tertentu.
2.    Penulisan syarh (penjelasan). Hasyiyah (Catatan Pinggir) dan ta’liq (komentar)
Untuk memahami makana sebuah matan, diperlukan adanya syarh  (penjelasan) yang bisa menjelaskan maksud dari teks tersebut dan terkadang penjelasan tidak cukup sehingga perlu ada catatan kaki yang bisa mengurai kalimat-kalimat yang asig dan dapat menjadi catatan ini pun belum cukup sehinnga perlu ada ulasan tersendiri.
Tentu cara ini dapat mencapai harapan dan tidak sapat mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada pelajar dengan mudah, perlu usaha gigih untuk memahami metode yang penuh dengan rumus dan menghabiskan stamina, dan waktu para pelajar hanya untuk memecahkan susunan bahasanya.
Metode ini banyak menghaviskan waktu, menjauhkan para penimba ilmu fiqh dari kitab-kitab yang sebenarnya sangat bermutu yang pernah ditulis para fuqoha’ pada zaman ulama madzhab pada fase pertama dari periode ini.

2.3.2   Dampak Kejumudan ini terhadap Fiqh Islam
Kejumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang perjalanan periode ini telah memberikan dampak sebagai berikut:
1.    Ketidajkberdayaan fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul.
2.    Jalan menjadi terpecah di depan para pengkaji ilmu fiqh disebabkan banyaknya karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan-aturan fiqh madzhab sehingga membuat para pelajar tidak mampu menunjukkan kemampuan mereka sendiri, yang pada akhirnya tiadak ada pembaruan dan penemuan baru.
3.     Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri Islam menjadi berpaling dari fiqh Islam dan memakai konsep undang-undang konvensional sebagai rujukan dalam urusan pribadi, termasuk juga urusan pemerintahan. Dengan demikian, syari’at Islam menjauh daari kehidupan, padahal sebelumnya syari’at Islam menjadi sumber perundangan.

2.4    Faktor Kemunduran Fiqh Pada Periode Ini

Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di antaranya sebagai berikut:
1.      Pergolakan politik dalam tubuh Negara Islam, musuh menguasai kaum muslimin dan orang asing menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Hal tersebut menyebabkan negara Islam menjadi lemah, yang berdampak pada lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan dan di antaranya adalah fiqh Islam.
2.      Pada zaman ini para fuqoha’ yang lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab dan mengajak masyarakat untuk mengikutinya, fanatik, dan menghujat orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
3.      Para fuqoha’ membatasi ruang geraknya dan tidak mau berijtihad seperti yang kami jelaskan sebelumnya.
4.      Munculnya beberapa buku yang syarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan, sehingga masyarakat melupaka buku-buku warisan yang berharga, gaya bahasanya mudah dipahami dan penjelasannya mudah untuk dicerna.
5.      Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru, baik Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah, dan Asia. Munculnya Negara-Negara baru itu membawa ketidakstabilan politik. Hal ini mempengaruhi pula kegiatan pemikiran dan pemantapan hukum.
6.      Pecahnya kesatuan kenegaraan/pemerintahan itu menyebabkakn merosotnya pula kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
7.      Timbulnya gejala kelesuan dimana-mana. Karena kelesuan berfikir itu, para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab.



      











BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
       Fase kemunduran berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir abad ketiga belas hijriah. Periode ini mencakup dua fase yang bertautan, tentang era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
       Taqlid mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah. Faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi Negara kecil, sebagian fuqaha’ yang memiliki kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab baru, serta merasa sudah cukup dengan madzhab yang ada. Adapun sebab terjadinya taqlid, diantaranya sebagai berikut:
1.      Pembukuan kitab madzhab
2.      Fanatisme madzhab
3.      Jabatan hakim
4.      Ditutupnya pintu ijtihad
            Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini, dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu terhimpun dalam beberapa hal yaitu ta’lil, tarjih, dan upaya pembelaan madzhab dan penulisan fiqih perbandingan.
     Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan. Periode ini dimulai sejak tahun 656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas. Pada era ini kondisi perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud.
Jika di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada beberapa hal sebagai berikut: penulisan matan dan penulisan Syah, Hasyiyah, dan Ta’liq.
     Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di antaranya sebagai berikut:
1.      Adanya pergolakan politik dalam tubuh Negara islam
2.      Para fuqaha’ lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab dan berfanatik
3.      Para fuqaha’ tidak mau berijtihad
4.      Munculnya buku-buku yang sarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan

3.2    Saran

       Dengan adanya peristiwa yang digambarkan di makalah ini semoga kita mampu berijtihad dan bukan hanya bertaqlid yang menyebabkan kita menjadi jumud sehingga pemikiran orang islam terus mengalami kemandekan dan tidak berkembang.
















DAFTAR PUSTAKA

Daud Mohammad Ali. 2005. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hasan Rasyad Khalil. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah

http: // abusalma. Wordpress. Com / e-books/.







[1]  Mohammad Daud Ali. 2005. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm: 194
[2]  http: // abusalma. Wordpress. Com / e-books/.
[3]  Rasyad Hasan Khalil. 2009. Tarikh Tasyri’.  Jakarta: Amzah. Hlm: 119
[4]  Ibid. Hlm: 121
[5]  Ibid: 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar