ILMU FIQH PADA MASA KEMUNDURAN
Makalah ini Disusun
untuk Memenuhi Memenuhi Tugas
Mata Kuliah studi
fiqh
Dosen Pengampu Bapak
Mubaligh, M.Hi
Oleh kelompok
Sembilan:
Siti Mahdzuroh
(10330094)
Jurusan Pendidikan
Bahasa Arab
Fakultas Humaniora
dan Budaya
Universitas Islam
Negeri (UIN) Maliki Malang
Oktober , 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah tentang pengetahuan masa
kemunduran ilmu fiqih.
Penulis menyadari
bahwa materi yang disajikan dalam makalah ini masih belum sempurna dan
mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan
kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam
makalah ini, makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para
pembaca dan saran yang membangun dan bisa membantu kami untuk menyempurnakanya.
Tak lupa kami
sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.
Kami
berterima kasih kepada dosen mata kuliah studi fiqih yang telah membimbing kami
sehingga bisa terselesaikan makalah ini Insya Allah dengan baik
2.
Terima
kasih kapada kelompok 10 yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, dan dana untuk
menyelesaikan makalah ini
3.
Terima
kasih kami tujukan kepada orang tua kami yang turut membantu kami secara tidak
langsung melalui doa dan motivasinya
4.
Terima
kasih kepada kakak-kakak senior yang telah meminjamkan buku untuk kami jadikan
referensi dalam menyelesaikan makalah
Selama proses
penulisan makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan
pikiran dari berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan
kebaikan yang berlipat ganda. Amin
Malang
18-12-2011
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... .... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan...........................................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Masa Kemunduran Ilmu fiqh .......................................................................................... 3
2.2 Kemunculan Taqlid Pada Masa Kemunduran ................................................................. 3
2.2.1 Faktor Kemunculan Taqlid.................................................................................. 3
2.2.2 Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid ..................................... 6
2.3 Kemunculan Jumud pada Masa Kemunduran ................................................................ 9
2.31 Kontribusi Fuqoha’ pada Periode Ini................................................................. 10
2.3.2 Dampak Kejumudan Ini Terhadap Fiqh Islam.................................................. 10
2.4 Faktor Kemunduran Fiqh pada Periode Ini................................................................... 11
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................................................... 13
3.2 Saran........................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar Belakang
Sejak permulaan abad ke-4
Hijriyah atau abad ke-10-13 Masehi, Ilmu fiqh mulai berhenti berkembang. Ini
terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan atau dinasti Abbasiyah. Pada masa
ini para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli
sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku berbagai madzhab yang
dipermasalahkan tidak lagi soal-soal dasar atau soal-soal pokok, tetapi
soal-soal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (ranting).
Sejak itu mulailah
gejala untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (Ittiba’-Taqlid). Para
ahli hukum dalam masa ini tidak lagi menggali hukum fiqh Islam dari sumbernya
yang asli, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada
dalam madzhabnya masing-masing. Kalau orang menulis masalah hukum tulisan itu
biasanya hanya merupakan komentar atau catatan-catatan terhadap pikiran-pikiran
hukum yang terdapat dan telah ada dalam madzhabnya sendiri. [1]
Era taqlid ini kemudian dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
Periode ini disebut
dengan periode taqlid karena para fuqaha’ pada zaman tidak dapat
membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah
ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali serta madzhab lain
yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu
syar’i yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Kapan
ilmu fiqh mengalami kemunduran?
2.
Bagaimana
kemunculan taqlid pada masa kemunduran ilmu fiqh?
3.
Bagaimana
kemunculan jumud pada masa kemunduran ilmu fiqh?
4.
Apa
faktor kemunduran ilmu fiqh?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui waktu fiqh mengalami
kemunduran.
2. Untuk mengetahui sejarah kemunculan taqlid.
3. Untuk mengetahui sejarah kemunculan jumud.
4. Untuk mengetahui faktor kemunduran fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masa Kemunduran Ilmu Fiqh
Fase ini berawal dari pertengahan abad keempat hijriah sampai akhir
abad ketiga belas hijriah. Dikarenakan periode ini mencakup dua fase yang
bertautan, fase pertama masih terkait dengan fase kedua secara langsung maka
disini kami akan menjelaskan periode ini dengan mengupas dua fase ini secara
intensif. Pertama, tentang era taqlid kemudian dilanjutkan dengan era
kejumudan (kebekuan).
![]() |
![]() |
||||||||
![]() |
|||||||||
![]() |
![]() |
||||||||
2.2 Kemunculan Taqlid pada Masa Kemunduran
Menurut Asy-Syaikh al-’Allamah Muhammad bin
Sholeh al-’Utsaimin taqlid secara
bahasa adalah وضع الشيئ في العنق محيطا به كالقلادة artinya “meletakkan sesuatudi leher dengan melilitkan
padanya seperti tali kekang.” Sedangkan secara istilah adalah
اتباع من ليس قوله حجة artinya
“mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah.”[2]
Sehingga kita tau faktor yang
menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik
yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi Negara kecil, dimana setiap
negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin. Di timur
ada Negara Sasan denga ibu kota Bukhara, dan di Andalusia ada Negara kecil yang
didirikan oleh Abdurrahman An-Nashir, demikian juga Negara Fatimiyah yang ada
di utara Afrika. Sehingga memudahkan musuh islam untuk menghancurkan Negara Islam
dan terjadilah perang salib.
2.2.1 Faktor
Kemunculan Taqlid
Dari
penjelasan diatas kita tau bahwa ada sebagian fuqaha’ yang memiliki
kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak,
hanya saja mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat
madzhab baru, serta merasa sudah cukup dengan madzhab yang ada. Kemudian mereka
pun bertaqlid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta
masalah cabang yang ada dalam madzhab. Adapun sebab terjadinya taqlid,
diantaranya sebagai berikut:[3]
1.
Pembukuan
kitab madzhab
Yang mendorong para ulama’ untuk berijtihad pada zaman itu karena
ingin mengetahui hukum dari sebuah masalah yang baru muncul ditengah masyarakat
yang belum ada hukumnya. Maka ketika para ulama’ mujtahid terdahulu sudah
menulisnya kemudian datanglah para ulama’ pada periode ini dan mendapatkan segalanya sudah tersedia dan
lengkap sehingga tidak ada lagi keinginan untuk berijtihad. Semua permasalahan
yang dicari sudah ada jawabanya, baik masalah yang besar atau kecil sehingga
tidak ada lagi hajat untuk mencari kembali, semua madzhab sudah menyediakan
hidangan fiqhnya.
2.
Fanatisme
madzhab
Para ulama’ pada periode ini sibuk dengan menyebarkan ajaran
madzhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’.
Bahkan sampai kepada tingkat dimana seseorang tidak berani berbeda pendapat
dengan imamnya, seakan kebenaran semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa
ulama’ yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama’
Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan “setiap ayat yang bertentangan
dengan pendapat madzhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan”,
termasuk juga hadist nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu
yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian
menutup mata mereka dari ijtihad. Sebab, jika ia sudah menyakini sebuah
doktrin, berlabuh dalam lautanya, berdiri tegak tidak mau beranjak, segala
keputusan ada padanya, dan pada akhirnya inilah bentuk sebuah kejumudan
(kebuntuan) berfikir.
3.
Jabatan
hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali
kepada mereka yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Al-quran dan sunnah
Rasullah serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj
para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus
berdasarkan pada Al-quran, sunnah Rasul-Nya, dan logika yang dekat dengan
kebenaran. Buktinya, surat yang ditulis oleh Umar bin Khattab kepada hakimnya,
Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata kepadanya, “jabatan hakim itu adalah sebuah
kewajiban yang sudah ditetapkan dan warisan yang diikuti, maka pahami dan
pahami setiap masalah yang disampaikan kepadamu yang tidak ada dalam Al-quran
dan sunnah, kemudian tetapkanlah yang ada kemiripan, dan carilah yang sepadan,
kemudian peganglah yang kamu lihat lebih dicintai Allah dan lebih dekat dengan
kebenaran. Namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama dengan pergeseran
waktu, para khalifah pun lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa ber-taqlid,
ikut pada pendapat madzhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah.
Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus
mengikuti salah satu madzhab dan tidak melangkahinya.
4.
Ditutupnya
pintu ijtihad
Petaka besar menimpa fiqh islam pada periode ini dimana kesucian
ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan merek
sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqh yang pada
akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para
penguasa dan ulama’ untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan ayat keempat
hijriyah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak
leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan
tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah member efek yang negative
terhadap fiqh islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya
para fuqaha’ periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan
untuk membantah pendapat ulama’ gadungan tersebut. Salah satunya dengan
menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak,
dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa
ilmu dan menyesatkan dan bukan penutuppintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka
lakukan, niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan fiqh islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama
sekali.
2.2.2
Kontribusi Para Ulama’ dan Fuqoha’ pada Fase Taqlid
Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini,
dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu terhimpun dalam beberapa hal sebagai berikut:[4]
1.
Ta’lil
(rasionalisasi hukum-hukum fiqh)
Pada zaman ini para ulama’ menemukan banyak sekali khazanah fiqh
yang diwariskan oleh generasi sebelumnya, namun mayoritas warisan fiqh ini
masih belum menyebutkan illat-nya (hikmah atau alasanya). Kemudian
masing-masing fuqaha’ madzhab mengkaji, berijtihad, dan mengistinbat illat
hukum fiqh yang diwariskan oleh imamnya. Melalui cara ini mereka bisa
menentukan hukum bagi masalah baru yang tidak sempat dibahas oleh para imam
madzhab sebelumnya.
Mereka menambahkan hukum-hukum syar’I baru tersebut kedalam fiqh
madzhab yang tidak terdapat didalamnya nash imam madzhab, kemudian hasil
kajian ini dinisbatkan kepada pendapat madzhab karena dasarnya diambil dari
fiqh madzhab.
Tentu inisebuah hasil
ijtihad dari mereka namun bukan ijtihad mutlak. Ini merupakan ijtihad
khusus yang berputar disekitar madzhab-madzhab tertentu, yaitu apa yang
dinamakan ushul takhrij dan mereka dinamakan ulama’takhrij.
Fuqaha’ hanafiyah
paling banyak menggunakan konsep eksplorasi illat-illat hukum dan
membahas tentang ushul madzhab Imam Abu Hanifah,karena madzhab mereka dibangun
diatas apa yang pernah ditulis oleh Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani yang
sarat dengan masalah fiqh. Akan tetapi makalah ini tidak menyebutkan illat-illat
(hikamah) lalu mereka berijtihad mencarinya dan berupaya mengetahui ushul
madzhabnya.
Adapun yang mendorong para ulama’ Hanafiyah untuk melakukan hal ini
adalah adanya debat dan diskusi ilmiah yang mereka lakukan dengan ulama’-ulama’
Syafi’iyah tentang beberapa masalah fiqh. Sudah tentu masing-masing madzhab
akan berupaya memenangkan madzhabnya dengan dalil yang kuta sehingga tidak
dapat dipatahkan oleh lawan.a
Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah, mereka mendapati semua
pendapat imam mereka penuh dengan dalil dan ada illat-nya. Selain itu,
juga ada ushul madzhabnya yang ditulis dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh
Imam Asy-Syafi’I dan ialah yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh.
Oleh karena itu, mereka tidak perlu lagi mencari prinsip dasar
madzhab sang imam dan illat-illat hukum pada masyarakat.
Adapun fuqaha’ madzhab Malikiyah dan Hanabilah, mereka belum
memberikan perhatian dalam masalah ini secara serius karena mereka jauh dari
medan debat dan diskusi ilmiah seperti yang dialami oleh para fuqaha’ pada
umumnya pada periode ini.
2.
Tarjih
Para fuqaha’ periode ini mempunyai
jasa yang besar dalam men-tarjih (menguatkan) antara pendapat-pendapat
yang berbeda-beda dalam madzhab yang diriwayatkan dari imam madzhab dan tarjih
ini terdiri dari dua jenis. Pertama, tarjih dari aspek riwayat, dan kedua,
tarjih dari aspek dirayah.
3.
Upaya
pembelaan madzhab dan penulisan fiqh perbandingan
Seperti yang sudah kami jelaskan diatas, betapa debat dan diskusi
ilmiah diantara para ulama’ telah memberikan pengaruh yang besar bagi kemajuan
ilmu pengetahuan secara umum dan fiqh islam khususnya. Ini terjadi ketika debat
dan diskusi bertujuan untuk mencari kebenaran dan inilah yang terjadi pada
zaman imam-imam madzhab.
Akan tetapi, fiqh pada fase
ini telah berubah haluan. Masing-masing fuqaha’ madzhab sibuk
memperjuangkan madzhabnya sendiri dengan menempuh dua cara berikut.
Pertama, menulis buku tentang keutamaan imam
Masing-masing pihak menulis buku tentang kelebihan yang dimiliki
oleh sang imam dalam bentuk syair dan prosa yang disebarkan kepada masyarakat
umum dengan harapan agar mereka memberikan loyalitas kepada imamnya.
Penulisan ini tidak hanya terbatas kepada fuqaha’ satu
madzhab, namun juga dilakukan oleh semua pengikuta madzhab. Pengikut Imam Abu
Hanifah menulis tentang keutamaan Imam Abu Hanifah dalam beberapa buku untuk
menjelaskan keluasan ilmu, ke-wara’an, kejujuran, dan kemampuan
sang imam dalam meng-istinbat hukum dari
Al-quran dan sunnah.
Demikian juga dengan ulama’-ulama’ Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah, mereka semua menulis buku tentang imam untuk mempromosikanya sehingga
mempunyai pengikuta yang banyak. Dengan demikian menyebarlah fiqh madzhab dan
muncul kepermukaan bersama dengan para pengikutnya, menjadi kebanggaan umat,
dan tertuang dalam berbagai jenis kitab-kitab yang tidak terhitung jumlahnya.
Kedua, penulisan kitab-kitab fiqh perbandingan
Hal ini mencakup semua masalah khilafiyah diantara para fuqaha’
madzhab dengan metode sebagai berikut.
a.
Menyebutkan
satu masalah dan hukumnya pada setiap madzhab.
b.
Menyebutkan
dalil hukumnya dari setiap imam.
c.
Kemudian
membandingkan semua dalil yang ada dan lalu men-tarjih dalil madzhab mereka apapun kondisinya. Upaya
ini kemudian dinamakan dengan penulisan kitab fiqh komparasi.
Tentu usaha ini sangat baik
dan dapat membantu kita untuk memahami pendapat yang kuat secara pasti, jika
memang bertujuan mencari kebenanrana tanpa ada rasa fanatic madzhab. Akan
tetapi pada kenyataanya hal ini sangat berbeda sekali, yang tampak bagi para
penulis kitab sejarah tasyri’ islam pada zaman ini adalah rasa fanatic
dan ingin memenangkan madzhad sendiri.
Mereka berdalil bahwa perbuatan ini mengandung unsure
berlebih-lebihan dan sangat terlihat pada banyak masalah yang dikaji dalam fiqh
madzhab.
Dan terkadang mereka terbawa perasaan saling menghujat dan
melampaui batas, suatu kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi
diantara para imam madzhab itu sendiri, yaitu kompetisi ilmiah yang mulia untuk
mencari kebenaran tanpa fanatic dan berlebih-lebihan, yang mereka lakukan sama
dengan apa yang pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in.
2.3 Kemunculan Jumud Pada Masa Kemunduran
Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan.
Periode ini dimulai sejak tahun 656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan
tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas.
Pada era ini
kondisi perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah
fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jika
di zaman generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk
menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para
ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka
memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Mereka tidak hanya melakukan taqlid mutlak,
semangat untuk menulis buku juga menurun sehingga hasil karya ilmiah para
fuqoha’ juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang sudah mereka
temukan dalam kitab pendahulu lalu difafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan
hanya membuat beberapaa penjelasan singkat.
Akibatnya, apa yang mereka hasilkan
berbeda sekali dengan hasil karya para pendahulu. Jika para pendahulu membuat
uraian, talil hukum, mentarjih pendapat yang kuat dan memilih pendapat yang
ditopang olegh dalil, namun pada masa ini semuanya serba ringkas dan terbatas.
Tujuan para fuqoha’ pada masa ini adalah mewujudkan dua hal: Pertama,
agar masyarakat mudah memahami masalah fiqh. Kedua, memudahkan para
pelajar menghafal kandungan fiqh madzhab dan menjadi wasilah untuk mengkaji
kitab-kitab besar sedikit demi sedikit.
2.3.1 Kontribusi Fuqoha’ pada
Periode Ini
Usaha yang dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan
terlihat pada beberapa hal sebagai berikut:[5]
1.
Penulisan
Matan (Teks)
Yaitu tulisan ringkas. Penulisan
matan menjadi tren sepanjang periode ini, bahkan menjadi konsentrasi fuqoha’,
hingga ada yang mengatakan, “Siapa yang menghafal matan (teks), maka ia akan
mendapat ilmu banyak.
Jenis penulisan seperti ini belum
muncul kecuali pada fase kedua dari periode ini, menjadi hobi para fuqoha’ sampai
kepada tingkat rumus-rumus tertentu.
2.
Penulisan
syarh (penjelasan). Hasyiyah (Catatan Pinggir) dan ta’liq (komentar)
Untuk memahami makana sebuah matan,
diperlukan adanya syarh (penjelasan)
yang bisa menjelaskan maksud dari teks tersebut dan terkadang penjelasan tidak
cukup sehingga perlu ada catatan kaki yang bisa mengurai kalimat-kalimat yang
asig dan dapat menjadi catatan ini pun belum cukup sehinnga perlu ada ulasan
tersendiri.
Tentu cara ini dapat mencapai
harapan dan tidak sapat mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada pelajar
dengan mudah, perlu usaha gigih untuk memahami metode yang penuh dengan rumus
dan menghabiskan stamina, dan waktu para pelajar hanya untuk memecahkan susunan
bahasanya.
Metode ini banyak menghaviskan
waktu, menjauhkan para penimba ilmu fiqh dari kitab-kitab yang sebenarnya
sangat bermutu yang pernah ditulis para fuqoha’ pada zaman ulama madzhab
pada fase pertama dari periode ini.
2.3.2
Dampak Kejumudan ini terhadap Fiqh Islam
Kejumudan yang menimpa fiqh Islam sepanjang
perjalanan periode ini telah memberikan dampak sebagai berikut:
1.
Ketidajkberdayaan
fiqh Islam untuk menjawab segala persoalan yang muncul.
2.
Jalan
menjadi terpecah di depan para pengkaji ilmu fiqh disebabkan banyaknya
karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan-aturan fiqh madzhab
sehingga membuat para pelajar tidak mampu menunjukkan kemampuan mereka sendiri,
yang pada akhirnya tiadak ada pembaruan dan penemuan baru.
3.
Masyarakat dan para penguasa sebagian negeri
Islam menjadi berpaling dari fiqh Islam dan memakai konsep undang-undang
konvensional sebagai rujukan dalam urusan pribadi, termasuk juga urusan
pemerintahan. Dengan demikian, syari’at Islam menjauh daari kehidupan, padahal
sebelumnya syari’at Islam menjadi sumber perundangan.
2.4
Faktor Kemunduran Fiqh Pada Periode Ini
Ada beberapa sebab terjadinya kemunduran
ilmu fiqh pada zaman ini di antaranya sebagai berikut:
1.
Pergolakan
politik dalam tubuh Negara Islam, musuh menguasai kaum muslimin dan orang asing
menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Hal tersebut menyebabkan negara Islam
menjadi lemah, yang berdampak pada lemahnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
di antaranya adalah fiqh Islam.
2.
Pada
zaman ini para fuqoha’ yang lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab dan
mengajak masyarakat untuk mengikutinya, fanatik, dan menghujat orang-orang yang
berbeda pendapat dengan mereka.
3.
Para
fuqoha’ membatasi ruang geraknya dan tidak mau berijtihad seperti yang kami
jelaskan sebelumnya.
4.
Munculnya
beberapa buku yang syarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan, sehingga
masyarakat melupaka buku-buku warisan yang berharga, gaya bahasanya mudah
dipahami dan penjelasannya mudah untuk dicerna.
5.
Kesatuan
wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru,
baik Eropa (Spanyol), Afrika Utara, di kawasan Timur Tengah, dan Asia.
Munculnya Negara-Negara baru itu membawa ketidakstabilan politik. Hal ini
mempengaruhi pula kegiatan pemikiran dan pemantapan hukum.
6.
Pecahnya
kesatuan kenegaraan/pemerintahan itu menyebabkakn merosotnya pula kewibawaan
pengendalian perkembangan hukum.
7.
Timbulnya
gejala kelesuan dimana-mana. Karena kelesuan berfikir itu, para ahli tidak
mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan akal pikiran
yang merdeka dan bertanggung jawab.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Fase kemunduran berawal dari pertengahan
abad keempat hijriah sampai akhir abad ketiga belas hijriah. Periode ini
mencakup dua fase yang bertautan, tentang era taqlid kemudian
dilanjutkan dengan era kejumudan (kebekuan).
Taqlid mengikuti perkataan orang yang perkataannya
bukan hujjah. Faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid
adalah pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi
Negara kecil, sebagian fuqaha’ yang memiliki kapasitas untuk memahami,
ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja mereka berpaling
dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab baru, serta merasa
sudah cukup dengan madzhab yang ada. Adapun sebab terjadinya taqlid,
diantaranya sebagai berikut:
1. Pembukuan kitab madzhab
2. Fanatisme madzhab
3. Jabatan hakim
4. Ditutupnya pintu ijtihad
Begi mereka yang mempelajari apa yang terjadi pada periode ini,
dapat membuat kesimpulan bahwa bentuk khidmat atau upaya itu terhimpun dalam beberapa hal yaitu ta’lil, tarjih,
dan upaya pembelaan madzhab dan penulisan fiqih perbandingan.
Arti jumud secara bahasa adalah kebekuan.
Periode ini dimulai sejak tahun 656 hijriyah, kota Baghdad jatuh ke tangan
tentara Mongol dan berakhir pada akhir abad ketiga belas. Pada era ini kondisi
perjalanan fiqh Islam saangat buruk sekali. Padahal periode ini adalah fase
terpanjang dalam sejarah fiqh Islam, mengalami kemunduran dan jumud.
Jika di zaman
generaasi pertama kita bisa melihat para fuqoha’ yang sibuk menggali
fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada periode ini para ulamanya
sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal mereka memiliki
kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya.
Usaha yang
dilakukan para fuqoha’ pada periode ini akan terlihat pada beberapa hal
sebagai berikut: penulisan matan dan penulisan Syah, Hasyiyah, dan Ta’liq.
Ada
beberapa sebab terjadinya kemunduran ilmu fiqh pada zaman ini di antaranya
sebagai berikut:
1.
Adanya
pergolakan politik dalam tubuh Negara islam
2.
Para
fuqaha’ lebih memperhatikan warisan fiqh madzhab dan berfanatik
3.
Para
fuqaha’ tidak mau berijtihad
4.
Munculnya
buku-buku yang sarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan
3.2
Saran
Dengan
adanya peristiwa yang digambarkan di makalah ini semoga kita mampu berijtihad
dan bukan hanya bertaqlid yang menyebabkan kita menjadi jumud sehingga
pemikiran orang islam terus mengalami kemandekan dan tidak berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Daud Mohammad Ali. 2005. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Hasan Rasyad Khalil. 2009. Tarikh Tasyri’. Jakarta: Amzah
http: // abusalma. Wordpress. Com / e-books/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar