ALIRAN MU’TAZILAH DALAM ILMU KALAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Teologi Islam
Dosen Pengampu H. Muh. In’am Esha, M.Ag
Penyusun:
Siti Mahdzuroh (10330094)
Haddudah (10330095)
Anna Tsuroyatul Aisyah (10330096)
Bayu Kusferiyanto (10330097)
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Humaniora dan Budaya
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang
November, 2011
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji syukur Kami haturkan ke
hadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat, taufiq, hidayah-Nya kepada
Kita sekalian dan atas ma’unah-Nya pula makalah Kami yang berjudul ”Aliran Mu’tazilah Dalam Ilmu Kalam” dapat terselesaikan sebagai tugas mata kuliah Teologi Islam.
Shalawat dan salamullah semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW
Shohibu Al ’Uqolaa’.
Kami ucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu Kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Kepada Bapak H. Muh. In’am Esha, M.Ag selaku
Dosen Pengampu yang telah banyak memberi bimbingan, arahan pada Kami khususnya,
Kami ucapkan terima kasih.
Kami menyadari akan kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini,
sehingga kritik dan saran yang membangun senantiasa Kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang akan kami tulis selanjutnya.
Akhirnya, Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
Kami penulis dan pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Malang, 19 Maret 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
1.3
Tujuan ........................................................................................................ 2
1.4
Manfaat ...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Perkembangan Mu’tazilah ............................................................... 3
2.2
Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ..................................................................... 6
2.3
Doktrin Doktri Teologi Aliran Mu’tazilah ........................................................ 7
2.4
Pandangan Ulama ...................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ............................................................................................... 13
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pemikiran-pemikiran para filosof
dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tidak
mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka tentang perpecahan
umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan
dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah
satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan
kebebasan berfikir.
satu
syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana
Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin
yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecahlah
dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah
dan para shahabat-shahabatnya.
Akibat dari hal itu bermunculanlah kebid’ahan-kebid’ahan
yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan
kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran
Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi
Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan mencampakan dalil-dalil dari
Al-qur’an dan As-Sunnah.
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini
dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Oleh
karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan
penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa
pokok pembahasan.[1]
1.2 Perumusan Masalah
Dalam makalah
ini Kami penulis akan memaparkan pembahasan tentang teologi aliran Mu’tazilah sesuai
rumusan masalah di bawah ini:
1.
Bagaimana sejarah perkembangan
aliran Mu’tazilah ?
2.
Siapa saja tokoh-tokoh Aliran
Mu’tazilah ?
3.
Apa doktirn-doktrin Teologi yang menjadi ajaran aliran
Mu’tazilah ?
4.
Bagaimana pandangan Para Ulama terhadap paham Mu’tazilah ini?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan perumusan
masalah di atas, maka penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui sejarah perkembangan
aliran Mu’tazilah.
2.
Mengenal tokoh-tokoh Aliran
Mu’tazilah.
3.
Mengetahui dan memahami doktrin-doktrin
Teologi yang menjadi ajaran
aliran Mu’tazilah.
4.
Mengerti akan pandangan Para Ulama terhadap paham Mu’tazilah ini.
1.4 Manfaat Penulisan
Dengan
disusunnya makalah ini, diharapkan dapat bermanfaat untuk memperdalam pemahaman
mahasiswa agar mempunyai wawasan yang luas tentang teologi aliran Mu’tazilah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Perkembangan Mu’tazilah
1.
Munculnya Mu’tazilah
Sejarah munculnya mu’tazilah kelompok
pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (IraQ), pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’
Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
Nah kemunculan ini adalah karena Wasil bin
Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang
berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar
masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan
perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah
pun dinisbahkan kepadanya.
Seiring
dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian
banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku
filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat
itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah).
Oleh
karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih
didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah
sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal
menurut persangkaan mereka, maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau
ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama
dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika
terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa:
59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus
para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang
benar sebagaimana yang terdapat
3
dalam An-Nahl: 36.
Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan
sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya
kaidah ini.
Mengapa disebut
Mu’tazilah ? Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang
memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa
dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan
tabi’in
Asy-Syihristani
berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri
seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok
yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut
diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama,
mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran
terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan
bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap
keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka
adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar
kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?” Al-Hasan Al-Bashri
pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab,
tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa
besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada
suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu
ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap
menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya.
Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka
disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu
pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal
Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang
mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin
dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak
sempurna)”.[2]
2. Penamaan
Mu’tazilah
Para Ulama telah
berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah
menjadi beberapa pendapat:
Pertama:
Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho'
dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini
didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al
Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam agama. Telah muncul pada zaman kita
ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut
mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka
adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar,
dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan
menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh
kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka
adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam
hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan
sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan
bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di
dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina
manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan
diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para
murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita
Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini
beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi
Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka ini:telah
terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan
ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan
meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka
menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan
Mu'tazilah.
5
Kedua:
Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada
Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah
yang telah menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr
bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya, mereka
dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah
wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis
sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya: merekalah
Mu'tazilah.[3]
2.2 Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh
aliran Mu’tazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan
ajaran-ajaran sendiri yang berbeda-beda dengan tokoh sebelumnya atau
tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran
sendiri-sendiri. Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu
aliran Mu”tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Aliran Basrah dan yang
pertama-tama mendirikan aliran Mu”tazilah.
Tokoh-tokoh aliran
Basrah antara lain :
1.
Wasil bin ‘Ata al Ghazzal (80-131
H/699-748 M)
2.
Abdul Huzail Muhammad bin al
Huzail al ‘Allaf (135-226 H/752-840 M)
3.
Ibrahim bin Sayyar bin Hani an
Nazzaham (wafat 231 H/845 M)
4.
al Jubbai (wafat 303 H/915 M)
Tokoh-tokoh aliran
Baghdad antara lain :
1.
Basyr bin al Mu’tamir (wafat 226
H/840 M)
2.
al Khayat (wafat 300 H/912 M)
Kemudian pada
masa-masa berikutnya lagi ialah al Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M di Ray) dan
az Zamachsyari (467-538 H/1075-1144 M).[4]
2.3
Doktrin Doktri Teologi Aliran Mu’tazilah
Mempunyai doktrin yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di
atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Doktrin itu mereka sebut dengan
Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut dan
sekaligus kami iringi dengan bantahan cara pemahaman mereka mengenai ajaran
keislaman mereka, sebagai berikut :
1.
Tauhid
Yang
mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat
Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah
menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah,
menurut mereka. Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau
Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahannya :
a)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi
runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang
kebatilannya. mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat Adapun dalil sam’i
bahwa Allah yang begitu banyak , padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal.” Allah
berfirman: “Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang
menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang
Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha
Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16).
“Sucikanlah Nama Rabbmu
Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang
Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan
rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la:
1-5).
Adapun dalil
‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati,
sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa
yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang
dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini
pasti mempunyai berbagai macam sifat.
7
b)
Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa
menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan
sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula
menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini
termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya,
justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena
sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu
menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika
mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka
menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya.
Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali.
Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki
mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). Atas
dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan
penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
2.
Al-‘adl ( Keadilan )
Yang
mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang
dari Allah, sedangkan . Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar
kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka
terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205). “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi
hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7). Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka
terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya)
oleh karena itu mereka menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau
Al-‘Adliyyah .
Bantahannya :
As-Syaikh Yahya
bin Abil-Khair Al-‘imrani berkata : kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan
keinginan itu satu, dasarnya adalah dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai Orang-orang kafir”.
Padahal kita semua tahu Allah-lah yang
menginginkan adanya orang kafir tersebut dan Dia-lah yang menciptakan mereka.
Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan
dikerjakan hamba tidak
8
lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya,
Allah berfirman : “ Dan kalian tidak akan mampu menghendaki ( jalan itu ),
kecuali bila dikehendaki Allah”. ( Al – Ihsan : 30 ). “Padahal Allah-lah
yang meciptakan kalian dan yang kalian perbuat”. (Ash-Shaafaat : 96).
Dari
sini kita tahu bahwa ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai yang
merupakan bagian dari takdir Allah , kedok untuk mengingkari kehendak Allah.
Atas dasar inilah mereka lebih pantas dikatakan Qadariyyah, Majusyiah, dan
orang-orang yang zalim.
3.
Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang
mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah,
dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di
bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan
tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut
dengan Wa’idiyyah.
Bantahannya :
a)
Seseorang yang beramal shalih
(sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah)
sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk
mewajibkan yang demikian itu, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya
dan sebagai bentuk keraguan kepada Allah terhadap Firman – Nya :
“Sesungguhnya Allah tidak menyelisihi janji – Nya”. ( Ali-Imran : 9 )
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para
hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa
besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka
sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya
dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati
diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih Lagi
Maha Penyayang. Terlebih lagi Dia telah menyatakan : “Sesungguhnya Allah
tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum
bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48).
b) Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah
syirik) kekal
9
abadi di An-Naar,
maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di
atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Telah
datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari
umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya
akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan
mencuri?” Beliau menjawab: “ Walaupun berzina dan mencuri “ ( HR. Al-Bukhori
Dan muslim dari sahabat Abu Dzar Al-Ghiffari ) namun meskipun mungkin mereka
harus masuk neraka terlebih dahulu.
4.
Suatu keadaan di antara dua
keadaan (Posisi di antara dua
posisi )
Yang
mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak
bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di
bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia).
Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan
dan kekafiran).
Bantahannya :
a)
Bahwasanya keimanan itu
bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan,
sebagaimana firman Allah : “Dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya Kepada
mereka, maka bertambahlah keimanan mereka”. ( Al-Anfal : 2 ). Dan juga
firman-Nya : “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka
(orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah
imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka
surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun
orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu
bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka
mati dalam keadaan kafir”. ( At-Taubah : 124-125 ).
Dan
dalam Firman-Nya yang lain juga : “(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah
dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173).
b) Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah
bisa dikeluarkan
10
dari keimanan
secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah
masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa
besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka
damaikanlah antara keduanya.” (Al-Hujurat: 9)
5.
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di
antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah
(muslim) yang zalim. Bantahannya : Memberontak terhadap pemerintah muslim
yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah.
Sebagaimana Allah berfirman : “Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri
(pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59) Rasulullahbersabda: “Akan datang
setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan
sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun
bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat
jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar
(perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu
diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman).[5]
Adapun
ciri-ciri Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama di hadapan umum mereka yakin
akan kekuatan fikiran, karena itulak suka berdebat dengan siapa saja yang berbeda
pendapat dengannya.
Sekitar
dua abad lamanya ajaran-ajaran mu’tazilah ini berpengaruh, karena diikuti atau
didukung oleh penguasa waktu itu. Masalah-masalah yang diperdebatkan antara
lain :
1.
Sifat-sifat allah itu ada atau
tidak
2.
Baik dan buruk itu ditetapkan
berdasarkan syara’ atau akal
3.
Orang yang berdosa besar akan
kekal di neraka atau tidak
4.
Perbuatan manusia itu dijadikan
oleh allah
5.
Al-qur’an itu makhluk atau tidak
6.
Allah itu bias dilihat di akhirat
nanti atau tidak
7.
Alam itu qodim atau hadits
8.
Allah wajib membuat yang baik
(shilah) dan yang lebih baik (ashlah)[6]
2.4
Pandangan Ulama
Para
Ulama banyak mendepenisikan kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya
sebagai “satu kelompok dari qadariyah yang menyelisihi pendapat umat Islam
dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho'
dan Amru bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry”.
Suatu persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah
adalah dari kisah Hasan Al-Bashri (105-110 H), yang berbeda pendapat dengan
muridnya yang bernama washil bin ‘atha’ (80-131) pada masalah pelaku dosa
besar. Maka dengan I’tizalnya’ dari majlis Hasan Al-bashri dinamakanlah Wasil
dan orang-orang yang sepaham dengannya dengan Mu’tazilah.
Mereka
begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa memegang pemerintahan islam
selama kurang lebih dua ratus tahun. Sebagaimana berselisih faham Hasan bashri
dengan muridnya berselisih pula Abu Hasan Al-asy'ari (260-330) dengan gurunya
yang bernama Abu Ali Al-juba’I (235-303) pada masalah sifat Allah swt yaitu wajibnya
Allah swt berbuat baik.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Aliran Mu’taziliyah (memisahkan
diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan
Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan
pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin
bukan kafir yang berarti ia fasik.
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin
berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran
di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan
pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Aliran
Mu’tazilah terdiri atas lima prinsip utama yaitu :
1.
Tauhid
2.
Keadilan (al-‘adl)
3.
Janji dan ancaman (Al-Wa’du
Wal-Wa’id)
4.
Tempat diantara dua tempat (al
Manzilatu bainal manzilatain)
5.
Menyuruh kebaikan dan melarang
segala kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar)
13
Daftar Pustaka
-
Hanafi M.A. 2003. Pengantar Teologi Islam.
-
Jauhari, Heri, Pedoman Penulisan Karya Ilmia. CV Pustaka Setia: Bandung
-
Rojak Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia: Bandung
-
Salihun A. Nasir. 1994. Pengantar Ilmu Kalam.
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar