TEORI-TEORI DALAM BELAJAR
Makalah ini Disusun
untuk Memenuhi Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikologi
pendidikan
Dosen Pengampu ibu
Mu’alifah, M.A
Oleh:
Siti Mahdzuroh
(10330094)
Haddudah (10330095)
Ana Tsuroyatul Aisyah
(10330096)
Jurusan Pendidikan
Bahasa Arab
Fakultas Humaniora
dan Budaya
Universitas Islam
Negeri (UIN) Maliki Malang
November, 2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula kami dapat
menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah tentang teori-teori
dalam belajar.
Penulis
menyadari bahwa materi yang disajikan dalam makalah ini masih belum sempurna
dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan
kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam
makalah ini,makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para
pembaca dan saran yang membangun dan bisa membantu kami untuk menyempurnakanya.
Tak
lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.
Kami berterima kasih kepada
dosen mata kuliah psikologi pendidikan yang telah membimbing kami sehingga bisa
terselesaikan makalah ini Insya Allah dengan baik
2.
Terima kasih kapada
kelompok kami yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, dan dana untuk
menyelesaikan makalah ini
3.
Terima kasih kami tujukan
kepada orang tua kami yang turut membantu kami secara tidak langsung melalui
doa dan motivasinya
4.
Terima kasih kepada
kakak-kakak senior yang telah meminjamkan buku untuk kami jadikan referensi
dalam menyelesaikan makalah
Selama proses penulisan makalah
ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari
berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang
berlipat ganda. Amin
Malang
2
november 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................................................
i
DAFTAR
ISI ................................................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3
Tujuan.............................................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Pengertian teori ................................................................................................................ 2
2.2
Fungsi-fungsi teori .............................................................................................................. 2
2.3
Macam-macam teori pendidikan ......................................................................................... 3
2.3.1
Teori koneksionisme .............................................................................................. 4
2.3.2
Teori pembiasaan klasik .......................................................................................... 5
2.3.3
Teori pembiasaan perilaku respons.......................................................................... 7
2.4.4
Teori pendekatan kognitif....................................................................................... 9
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan ....................................................................................................................... 12
3.2
saran ................................................................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................................................... 14
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
pendidikanlah yang akan menjamin manusia terus berkuasa
didunia ini.melalui proses pendidikan manusia akan terus mengembangkan
kemampuanya. Ini tidak bisa dibantah adapun hal yang menjadi persoalan adalah
bagaimana proses pendidikan harus berjalan dan bagaimana teknisnya pendidikan
dilaksanakan. Kenyataanya miliaran manusia didunia mengalami kondisi yang
beragam.
Persoalan inilah yang kami angkat dalam makalah ini, yakni
bagaimana pendidikan dapat dilaksanakan dan dinikmati oleh seluruh manusia di
bumi ini tanpa membedakan keberagamannya. Setiap manusia mempunyai hak-hak sama
dan jika kenyataanya ada kesenjangan
berarti mungkin ada ketidakadilan disana.
Makalah ini mempertemukan berbagai teori pendidikan yang
telah dikembangkan dari teori pendidikan pada masa lalu, masa kini dan masa yng
akan datang. Dengan pembahasan yang cukup teknis dimaksudkan agar pembaca bisa
mengetahui bagaimana cita rasa bidang tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
1.
apa itu teori-teori
pembelajaran?
2.
Apa fungsi dari teori
pembelajaran?
3.
Apa macam-macam teori
pembelajarn?
1.3
Tujuan
Dari rumusan masalah yang ada, tujuan penyusunan makalah ini
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian dari
teori pembelajaran
2.
Untuk mengetahui fungsi dari teori
pembelajaran
3.
Untuk mengetahui tentang macam-macam
teori pembelajaran
BAB 1
PEMBAHASAN
2.1 pengertian
teori
Cukuplogis bilakita mengatakan bahwa
fakta-fakta mempresentasikan adanya sejenis teori atau bahwa teori-teori
mempresentasikan adanya sejenis fakta, namun lebih lebih logis lagi bila kita
mengatakan bahw afakta dan teori mempresentasikan sesuatu yang pada dasarnya
adlah proses tunggal hanya dalam kadar yang berbeda.
Apa
itu teori? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab, karena ada berbagai opini
yang berlainan mengenai seperti apa seharusnya sebuah teori dan fungsi apa yang
seharusnya dijalankan oleh sebuah teori. Jelas bahwa hanya dengan mengakaji
berbagai teori itudengan mengamati sebuah keserupaan , perbedaan dan tujuan
yang ada dalam pikiran para pencipta , maka kita bisa mencapai pengertian umum
mengenai apa itu teori
Dalam pengertian yang paling luas, teori
adalah interpretasi sistematis atas sebuah bidang pengetahuan. Dalam psikologi
pendidikan lebih baik digunakan istilah system atau intepretasi
sistematis dari pada istilah teori. Karena teori kadang
–kadang digunakan dalam pengertian yang lebih sempit untuk merujuk pada sejenis
system logika formal[1].
2.2 fungsi-fungsi teori
Sebuah teori pembelajaran biasanya
memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan erat[2].
1.
Teori pembelajaran adalah pendekatan
terhadap suatu bidang pengetahuan; suatu cara menganalisis, membicarakan dan
meneliti pembelajaran. Teori pembelajaran menggambarkan sudut pandang peneliti
mengenai aspek-aspek pembelajaran yang paling bernilai untuk dipelajari,
variable-variabel independen yang harus dimanipulasi dan variable-variabel
dependen yang harus dikaji, teknik-teknik penelitian yang hendak digunakan, dan
bahasa apa yang harus digunakan untuk mendiskripsikan temuan-temuanya. Dengan
demikian teori berfungsi sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan
pemikir ilmiah.
2.
Teori pembelajaran berupaya untuk
meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran
kedalam ruang yang cukup kecil. Dalam proses peringkasan ini, beberapa segi
akurasi dan detail cenderung untuk hilang. Dalam ilmu-ilmu yang amat eksak dan
berkembang dengan baik seperti fisika dan kimia, teori-teori bisa dengan sangat
bagus meringkas hukum-hukum sehingga prediksi-prediksi yang dihasilkan dari
teori bisa sama akuratnya dengan hukum-hukum yang jauh lebih detail. Psikologi
sejauh ini kurang berhasil dengan usahanya menemukan teori-teori semacam itu.
Teori-teori pembelajaran, dalam upayanya meringkas sejumlah besar pengetahuan,
kehilangan akurasi dan kekomplitan. Semua teori pembelajaran merupakan
simplifikasi atau garis-garis besar dari materi yang mereka hadapi. Dengan
demikian teori-teori pembelajaran memperhatikan pencapaian dalam hal keluasan,
organisasi, dan kesimpelan, namun juga kehilangan akurasi detailnya.
3. Teori
pembelajaran secara kreatif berupaya menjelaskan apa itu permbelajaran dan
mengapa pembelajaran berlangsung seperti adanya. Hukum-hukum menunjukkan
‘bagaimana’ pembelajaran terjadi; teori-teori berupaya menunjukkan ‘mengapa’
pembelajaran terjadi. Jadi teori pembelajaran berusaha menghasilkan pemahaman
pokok tersebut yang merupakan salah satu tujuan ilmu pengetahuan dan
jugabentuk-bentuk kegiatan ilmiah lainnya. Teori merepresentasikan upaya
terbaik manusia untuk memastikan struktur apa yang melandasi dunia tempat kita
hidup.
2.3 macam-macam
teori pembelajaran
Secara
pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan
prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta
dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak
teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat
menonjol, yakni connectionism, classical conditioning, dan operant
conditioning. Teori – teori tersebut
merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen – eksperimen
lainnya untuk mengembangkan teori – teori baru yang juga berkaitan dengan
belajar seperti contigious conditioning (Guthrie), Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory,
dan lain sebagainya.
1.
KONEKSIONISME
Teori
koneksionisme (connectionism) adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L.
Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun
1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan – hewan terutama kucing
untuk mengetahui fenomena belajar[3].
Seekor kucing
yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang
dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit gerendel pintu dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut
memperoleh makanan yang tersedia dalam sangkar tadi.
Keadaan dalam
sangkar yang disebut puzzle box (peti teka teki ) itu merupakan situasi
stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh
makanan yang ada dimuka pintu. Mula – mula kucing tersebut mengeong, mencakar
dan melompat dan berlari larian namum gagal membuka pintu untuk memperoleh
makanan yang ada didepannya. Akhirnya entah bagaiman secara kebetulan kucing
tersebut berhasil menekan pengungkit dan terbukalah sangkar tersebut.
Eksperiman puzzle box ini kemidian dikenal dengan nama Instrumental
Conditioning. Akhirnya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki.
Berdasarkan eksperimen diatas Throndike menyimpulkan bahwa belajr adalah
hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga
disebut “S-R Psycology of Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu
atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).
Apabila kita
perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen thordike tadi akan kita dapati dua
hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing
yang lapar.Seandainya kucing itu kenyang , sudah tentu tak akan berusaha keras
untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang
mengurungnya. Dengan kata lain,kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar
untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi
merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya
makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif yang
memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum
belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon
menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respon akan
semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons,
semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah
yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam operant conditioning hasil penemuan B.F Skinner.
2.
PEMBIASAAN KLASIK
Pada 1904, Ivan P. Pavlov (1849-1936) memenangkan hadiah nobel dibidang
psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan. Dalam penelitianya
ia menjalankan operasi yang cukup rumit, membuka lambung seekor anjing melalui
dinding perutnya. Ia mengamati bahwa
munculnya kelenjar (sekresi) dalam perut pertama-tama dipicu bukan karena
adanya makanan yang memasuki perut melainkan karena anjing tersebut mengunyah
atau melihat makanan, dan disini ia mencatat bagaimana sekresi antisipatoris
ini menunjukkan aspek paling menarik dari proses pencernaan. Untuk mempelajari
hal itu ia pun berfokus pada bagian lain pencernaan anjing, yakni sekresi
kelenjar liur dalam mulut, yang bisa diukur melalui operasi yanglebih
sederhana: memasang pipa pada kelenjar liur dimulut anjing. Ketika Pavlov
menyodorkan makanan kepada seekor anjing yang telah dipasangi pipa didalam
mulutnya, tetes-tetes air liur pun mengalir melalui pipa itu masuk kesebuah
wadah, dan liur itu pun ditakar.tetes-tetes liur ini kemudian ternyata juga
menunjukkan respon anjing terhadap stimuli selain makanan didalam labolatorium.
Pada saat itu, para peneliti umumnya menjelaskan bahwa keluarnya air liur
tersebut adalah Karena stimuli lain tersebut dikaitkan dengan makanan. Pavlov
memutuskan bahwa jawaban ini tidak memadai, dan ia mencurahkan seluruh sisa
hidupnya untuk mempelajari proses ini secara amat mendetail. Melalui jalur
penelitian baru ini (Pavlov, 1960), ia pun menjadi terkenal sebagai bapak
pengkondisian.
Pelaku eksperimen memulai percobaan dengan memberikan sebuah stimulus
(stimulus tidak berkondisi) yang
dipastikan akan mendatangkan suatu respon terrtentu (respon tidak berkondisi). Dalam penelitian
Pavlov, stimulus tidak berkondisinya berupa daging dan respon tidak
berkondisinya keluarnya air liur. Stimulus berkondisi bisa mengambil bentuk
berbagai macam stimuli: lonceng, metronome yang berketuk, dan sebagainya. Jika
stimulus ini diberikan secara berulang-ulang persis sebelum daging disodorkan,
stimulus tersebut pada akhirnya juga akan menyebabkan berliur, respon tidak
berkondisi, dan dengan demikian stimulus tersebut pun menjadi stimulus tidak
berkondisi. Karena istilah pengkondisian(conditioning) kemudian
digunakan dalam pengertian yang amat luas, jenis khusus pengkondisian ini,
jenis yang pertama kali dikaji orang, kemudian dikenal sebagai pengkondisian
klasik (classical conditioning) (Hilgrard & Marquis 1940). Akhir-akhir
ini orang juga semakin sering menamakan berbagai hal sejak dari penyakit hingga
kesatuan pengukuran sesuai dengan nama orang; karena itu, pengkondisian klasik
pun kemudian sering disebut sebagai pengkondisian pavlovian. Meskipun penemuan
Pavlov terwujud karena kerja sama dengan para peneliti rusia yang lainya,
seperti I.M.Sechenov dan V.M. Bekhterev, karya Pavlov lah yang jelas paling
penting dan layak mendapatkan pengakuan tersebut.
Istilah stimulus tidak berkondisi (unconditioned stimulu)
danstimulus berkondisi (conditioned stimulus) mungkin terdengar agak
janggal bila kita mengingat pengertian yang dikandungnya. Dewasa ini banyak
orang menyadari bahwa kedua istilah ini merupakan terjemahan yang keliru dari
istilah rusia yang digunakan oleh Pavlov. Yang sebenarnya dimaksud adalah bahwa
daging merupakan stimulus tidak kondisional (unconditional, tidak
dikondisikan melalui latihan-latihan sebelumnya), sementara lonceng (atau
stimulus lain yang diberikan sebelum daging) adalah stimulus kondisional bagi
berliur-conditional, dikondisikan dengan cara mamasangkanya dengan daging.
Dengan demikian, karena penterjemahan yang kurang tepat, selama beberapa
generasi para psikolog berbahasa inggris menggunakan istilah berkondisi (conditioned)
dan tidak berkondisi (unconditioned) yang terdengar aneh. Walaupun
sekarang ada beberapa penulis yang menggunakan istilah kondisional
(conditional) dan tidak kondisional (unconditional), kebanyakan
penulis tetap berpegang pada tradisi lama dengan menggunakan dua istilah yang
kurang tepat namun lebih familiar tersebut[4].
Teori pavlov ini juga disebut respondent
conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam
eksperimennya[5],
pavlove menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned
stimulus (CS), unconditioned-response (USC)
Conditioned
response (CR), dan uncodionet-respons yang dipelajari, dan respons yang dipelajari
itu sendiri disebut CR. Adapun USC berarti rangsangan yang menimbulkan respons
yang tidak dipelajari,dan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak
dipelajari itu disebut UCR.
Anjing
percobaan mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan
dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih
(dikenai eksperimen), secara alami
anjing itu mengeluarkan nilai setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel
dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan,
yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, diadakan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel
(CS) bersama-sama dengan peberian makanan berupa serbuk daging (USC).Setelah
latihan yang berulang-ulang ini ini selesai, suara bel tadi (CS),
diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (USC). Apa yang terjadi? Ternyata
anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar
suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilakan CR apabila CS dan USC telah
berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan
eksperimen diatas semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya
hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen
E.L. Thorndike dimuka kurang lebih sama dengan hasil
eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan Thorndike yang behavioristik itu. Simpulan
yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov adalah apabila stimulus yang
diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS)
cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita
kehendaki yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya, skinner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung
dalam eksperimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda yakni:
law of respondent conditioning dan law of respondent extinction.
Secara harfiah, law of respondent conditioning berarti hukum pembiasaan
yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hukum
pemusnahan yang dituntut.
Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent
conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara bersamaan (yang
salah satunya berfungsi sebagai reinforce) maka reflek ketiga yang terbentuk
dari respons atas penguatan reflek dan stimulus lainya akan meningkat. Yang
dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan USC, sedangkan reflek ketiga
adalah hubungan antara CS dab CR. Sebaliknya law of respondent extinction ialah
jika reflek yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatanya menurun.
3. PEMBIASAN PERILAKU RESPONS
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan
teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh para ahli
psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner
(lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontraversial.
Karya tulisnya yang masyhur berjudul about behaviorism diterbitkan pada tahun
1974. Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu
terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu
sendiri (Bruno, 1987).
“operant” adalah sejumlah perilaku respon yang
membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak
seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh
stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa
didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan
timbulnya sejumlah respons tertentu,namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus lainya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimenya[6],
Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang
kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box” peti sangkar ini terdiri
atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandem dan alat pemberi reinforcement
yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandem adalah komponen yang dapat
dimanipulasi dan gerakanya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini
terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar
dengan cara lari kesan kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya,
mencakar dinding, dan sebgainya. Aksi-aksi seperti itni disebut “emitted
behavior” (tingkah laku yang terpancar),yakni tingkah laku yang terpancar
dari organism tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya,
secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut ( seperti cakaran kaki
depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini
mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi
penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant
yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni
penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperiman skinner di atas mirip sekali dengan trial
and error rearning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal jni,
fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/penguatan.
Deangan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant
conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of
effect
Selanjutnya, proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga
tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant
conditioning dan law of operant extinction. menurut law of operant
conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus
penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya,
menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant
yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau
bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan
hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasan yang
klasik.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov
diatas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan
timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga
bersifat
Otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan
dengan teori juga temuan riset psikologikognitif, karakteristik belajar yang
terdapat dalam teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar
ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai
berikut, yakni[7]:
a.
Proses
belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses
kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian
gejalanya.
b.
Proses
belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin
dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan
diri) dan self-control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan
karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena
lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c.
Proses
belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit
diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dengna hewan.
4. TEORI PENDEKATAN KOGNITIF
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif
yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi
pendidikan. Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas:
psikologi kognitif, ilmu-ilmu computer, linguistic, intelegensi buatan,
matematika, epistemology, dan neuropsychology (psikologi syarat).
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses
internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku
manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses
mental, seperti: motivasi, kesengajaan, kayakinan dan sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan
behavioristik, tidak berati psikologi kognitif anti terhadap aliran
behavioristik. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah
teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi
ranah cipta seperti berfikir, mempertimbangkan pilihan dan menngambil
keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tau urusan ranah
rasa.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah
peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun
hal-hal yang bersifat bahevioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap
peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis,
misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalm hal ini mulut dan tangan)
untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan
kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata
respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan
mental yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget seorang
pakar psikologi terkemuka, menyimpulkan: …children have a built-in desire to
learn (Barlow, 1985), bahwa anak-anak memiliki kebutuhan yang melekat dalam
dirinya sendiri untuk belajar.
Sementara itu, teori filsafat pragmatisme yang dipelopori oleh William
James (1842-1910) dan teori-teori belajar yang bersumber dari eksperimen
Pavlov, Thordike, dan Skinner, telah diambil sebagai landasan psikologi aliran
behaviorisme dibawah kepemimpinan John Broadus Watson (1878-1958). Aliran
behaviorisme yang terkenal radikal dan menantang itu kini sedang mengalami fase
keruntuhannya. terhadap teori-teori behavioristik, apalagi setelah dibandingkan
dengan hasil-hasil riset para pakar psikologi (Reber, 1988).
Di antara keyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori behavioristik ialah setiap anak manusia lahir
tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, dan warisan-abstrak
lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahan perasaan baru timbul setelah
manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan[8].
Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya
bergantung pada cara individu itu dididik.
Keyakinan principal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah
peranan “refleks”, yakin reaksi jasmaniah yang dianggab tidak memerlukan
kesadaran metal. Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan belajar
adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan
yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi
keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi,
peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah peristiwa
melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai siswa .
Dalam perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar yang digambarkan
seperti tadi adalah naif (terlalu sederhana dan tidak masuk akal) dan sulit
dipertanggungjawabkan secara psikologi. Sebagai bukti dan bahan perbandingan,
berikut ini penyusun kemukakan dua contoh kritik terhadap kepercayaan
behavioristik tadi.
Pertama, memang tak dapat dimungkiri bahwa kebiasaan pada umumnya
berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa. Seorang siswa lazimnya menyalin
pelajaran, juga dengan kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena yang
dilakukan siswa tersebut demikian lancarnya karena sudah terbiasa menulis sejak
tahun pertama masuk sekolah.
Perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin pelajaran dengan cara
yang bisa ia lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat keputusan mengenai ia
akan menyalin pelajaran sekarang, nanti, atau sama sekali tidak. Jadi,
kebiasaan dapat berfungsi sebagai pelaksana aktivitas menyalin pelajaran dari
awal sampai akhir, sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan dimulainya aktivitas menyalin pelajaran oleh
siswa tadi dengan kebiasaan yang dikuasai. Keputusan tersebut tentu bukan
peristiwa behavioral melainkan peristiwa mental siswa itu sendiri.
Kedua, kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemauan
siswa itu sendiri. Contoh, menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian
diperpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi ketika tiba saat berpuasa pada
bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan tidak mengunyah permen.
Dalam hal itu, pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan
mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebutkarena sedang menunaikan
ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan perilaku behavioral melainkan
peristiwa mental (konatif), meskipun secara lahiriah yang menerima akibat
kemauan tersebut adalah perilaku behavioral.
Dari uraian contoh-contoh diatas, semakin jelaslah bahwa perilaku
belajar itu, dalam hampir semua bentuk dan manifestasinya, bukan sekedar
peristiwa S-R Bond (ikatan antara stimulus dan respons) melainkan lebih banyak
melibatkan proses kognitif. Hanya dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat
terbatas rusng lingkupnya (umpamanya belajar meniru sopan santun dimeja makan
dan bertegur sapa), peranan ranah cipta siswa tidak menonjol.
BAB 111
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Teori adalah interpretasi sistematis atas sebuah bidang pengetahuan.
Dalam psikologi pendidikan lebih baik digunakan istilah system atau intepretasi
sistematis dari pada istilah teori. Karena teori kadang
–kadang digunakan dalam pengertian yang lebih sempit untuk merujuk pada sejenis
system logika formal.
Sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga fungsi yang
berbeda namun saling terkait dengan erat
(berfungsi sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah,
Teori pembelajaran berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan
mengenai hukum-hukum pembelajaran kedalam ruang yang cukup kecil, Teori
pembelajaran secara kreatif berupaya menjelaskan apa itu permbelajaran dan
mengapa pembelajaran berlangsung seperti adanya).
Macam-macam teori pembelajaran,diantaranya: teori koneksionisme,
teori pembiasaan klasik, teori pembiasaan perilaku respons, teori pendekatan
kognitif.
Dalam teori koneksionisme kita dapati dua hal pokok yang mendorong
timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar.Seandainya
kucing itu kenyang , sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan,
barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Kedua,
tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks
positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar
timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect.
Berdasarkan teori pembiasaan klasik semakin jelaslah bahwa belajar
adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan
respons.
proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga
tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant
conditioning dan law of operant extinction. menurut law of
operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat.
Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah
laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak
diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan
menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987)
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses
internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku
manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses
mental, seperti: motivasi, kesengajaan, kayakinan dan sebagainya.
3.2 saran
Dalam pembahasan diatas banyak para pakar psikologi yang menghabiskan waktunya untuk
melakukan eksperimen agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam menerapkan
suatu system pembelajaran, selaikn waktu pastinya juga biaya. Sehingga tidak mudah
untuk menjadi seorang pendidik kita memerlukan teori agar ilmu yang
kitasampaikan kepada peserta didik bisa dicerna dengan baik, sehingga kita
perlu untuk mempelajarinya, karena seorang pendidik tidak dikatakan
berhasilapabila ia belum bisa membuat anak didiknya mengerti tentang apa yang diajarkan.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Gunawan, Ary. 2000. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
-
Hadis, Abdul. 2006. Psikologi dalam Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
-
Hill, Winfred. 2010. Theories of Learning.
Bandung: Nusa Media.
-
Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-Teori Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
-
Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
-
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
[1]
Winfred F. Hill, theories of learning
(Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 27
[2]
Ibid., hlm. 28
[3]
Muhibbin Syah, psikologi pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.
103-104
[4]
Winfred F. Hill, Op. Cit., hlm. 36
[5]
Muhibbin Syah. Op. Cit., hlm 104-106
[6]
Ibid., hlm 106-107
[7]
Ibid., hlm. 108
[8]
Ibid., hlm. 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar