Senin, 19 Januari 2015

teori-teori dalam belajar

TEORI-TEORI DALAM BELAJAR


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikologi pendidikan
Dosen Pengampu ibu Mu’alifah, M.A


Oleh:
Siti Mahdzuroh (10330094)
Haddudah (10330095)
Ana Tsuroyatul Aisyah (10330096)





Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Humaniora dan Budaya
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang
November, 2011



KATA PENGANTAR
                Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula kami dapat menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah tentang teori-teori dalam belajar.
                Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam makalah ini masih belum sempurna dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam makalah ini,makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para pembaca dan saran yang membangun dan bisa membantu kami untuk menyempurnakanya.
                Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1.       Kami berterima kasih kepada dosen mata kuliah psikologi pendidikan yang telah membimbing kami sehingga bisa terselesaikan makalah ini Insya Allah dengan baik
2.       Terima kasih kapada kelompok kami yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, dan dana untuk menyelesaikan makalah ini
3.       Terima kasih kami tujukan kepada orang tua kami yang turut membantu kami secara tidak langsung melalui doa dan motivasinya
4.       Terima kasih kepada kakak-kakak senior yang telah meminjamkan buku untuk kami jadikan referensi dalam menyelesaikan makalah
Selama proses penulisan makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang berlipat  ganda. Amin
                                                                                                                                                           Malang
                                                                                                                                                 2 november 2011

                                                                                                                                                           Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................        i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian  teori  ................................................................................................................ 2
2.2 Fungsi-fungsi teori .............................................................................................................. 2
2.3 Macam-macam teori pendidikan ......................................................................................... 3
2.3.1 Teori koneksionisme .............................................................................................. 4
2.3.2 Teori pembiasaan klasik .......................................................................................... 5
2.3.3 Teori pembiasaan perilaku respons.......................................................................... 7
2.4.4 Teori pendekatan kognitif....................................................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................................... 12
3.2 saran ................................................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................... 14



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1   Latar Belakang
pendidikanlah yang akan menjamin manusia terus berkuasa didunia ini.melalui proses pendidikan manusia akan terus mengembangkan kemampuanya. Ini tidak bisa dibantah adapun hal yang menjadi persoalan adalah bagaimana proses pendidikan harus berjalan dan bagaimana teknisnya pendidikan dilaksanakan. Kenyataanya miliaran manusia didunia mengalami kondisi yang beragam.
Persoalan inilah yang kami angkat dalam makalah ini, yakni bagaimana pendidikan dapat dilaksanakan dan dinikmati oleh seluruh manusia di bumi ini tanpa membedakan keberagamannya. Setiap manusia mempunyai hak-hak sama dan jika kenyataanya ada  kesenjangan berarti mungkin ada ketidakadilan disana.
Makalah ini mempertemukan berbagai teori pendidikan yang telah dikembangkan dari teori pendidikan pada masa lalu, masa kini dan masa yng akan datang. Dengan pembahasan yang cukup teknis dimaksudkan agar pembaca bisa mengetahui bagaimana cita rasa bidang tersebut.
1.2   Rumusan Masalah
1.       apa itu teori-teori pembelajaran?
2.       Apa fungsi dari teori pembelajaran?
3.       Apa macam-macam teori pembelajarn?
1.3   Tujuan
Dari rumusan masalah yang ada, tujuan penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari teori pembelajaran
2.      Untuk mengetahui fungsi dari teori pembelajaran
3.      Untuk mengetahui tentang macam-macam teori pembelajaran



BAB 1
PEMBAHASAN
2.1 pengertian teori
            Cukuplogis bilakita mengatakan bahwa fakta-fakta mempresentasikan adanya sejenis teori atau bahwa teori-teori mempresentasikan adanya sejenis fakta, namun lebih lebih logis lagi bila kita mengatakan bahw afakta dan teori mempresentasikan sesuatu yang pada dasarnya adlah proses tunggal hanya dalam kadar yang berbeda.
            Apa itu teori? Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab, karena ada berbagai opini yang berlainan mengenai seperti apa seharusnya sebuah teori dan fungsi apa yang seharusnya dijalankan oleh sebuah teori. Jelas bahwa hanya dengan mengakaji berbagai teori itudengan mengamati sebuah keserupaan , perbedaan dan tujuan yang ada dalam pikiran para pencipta , maka kita bisa mencapai pengertian umum mengenai apa itu teori
            Dalam pengertian yang paling luas, teori adalah interpretasi sistematis atas sebuah bidang pengetahuan. Dalam psikologi pendidikan lebih baik digunakan istilah system atau intepretasi sistematis dari pada istilah teori. Karena teori kadang –kadang digunakan dalam pengertian yang lebih sempit untuk merujuk pada sejenis system logika formal[1].
2.2 fungsi-fungsi teori
            Sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan erat[2].
1.      Teori pembelajaran adalah pendekatan terhadap suatu bidang pengetahuan; suatu cara menganalisis, membicarakan dan meneliti pembelajaran. Teori pembelajaran menggambarkan sudut pandang peneliti mengenai aspek-aspek pembelajaran yang paling bernilai untuk dipelajari, variable-variabel independen yang harus dimanipulasi dan variable-variabel dependen yang harus dikaji, teknik-teknik penelitian yang hendak digunakan, dan bahasa apa yang harus digunakan untuk mendiskripsikan temuan-temuanya. Dengan demikian teori berfungsi sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah.
2.      Teori pembelajaran berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran kedalam ruang yang cukup kecil. Dalam proses peringkasan ini, beberapa segi akurasi dan detail cenderung untuk hilang. Dalam ilmu-ilmu yang amat eksak dan berkembang dengan baik seperti fisika dan kimia, teori-teori bisa dengan sangat bagus meringkas hukum-hukum sehingga prediksi-prediksi yang dihasilkan dari teori bisa sama akuratnya dengan hukum-hukum yang jauh lebih detail. Psikologi sejauh ini kurang berhasil dengan usahanya menemukan teori-teori semacam itu. Teori-teori pembelajaran, dalam upayanya meringkas sejumlah besar pengetahuan, kehilangan akurasi dan kekomplitan. Semua teori pembelajaran merupakan simplifikasi atau garis-garis besar dari materi yang mereka hadapi. Dengan demikian teori-teori pembelajaran memperhatikan pencapaian dalam hal keluasan, organisasi, dan kesimpelan, namun juga kehilangan akurasi detailnya.
3.      Teori pembelajaran secara kreatif berupaya menjelaskan apa itu permbelajaran dan mengapa pembelajaran berlangsung seperti adanya. Hukum-hukum menunjukkan ‘bagaimana’ pembelajaran terjadi; teori-teori berupaya menunjukkan ‘mengapa’ pembelajaran terjadi. Jadi teori pembelajaran berusaha menghasilkan pemahaman pokok tersebut yang merupakan salah satu tujuan ilmu pengetahuan dan jugabentuk-bentuk kegiatan ilmiah lainnya. Teori merepresentasikan upaya terbaik manusia untuk memastikan struktur apa yang melandasi dunia tempat kita hidup.
2.3 macam-macam teori pembelajaran
Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni connectionism, classical conditioning, dan operant conditioning.  Teori – teori tersebut merupakan ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen – eksperimen lainnya untuk mengembangkan teori – teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti contigious conditioning (Guthrie),  Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan lain sebagainya.
1.      KONEKSIONISME
Teori koneksionisme (connectionism) adalah teori yang  ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan – hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar[3].
Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk sangkar berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit gerendel pintu dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia dalam sangkar tadi.
Keadaan dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka teki ) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula – mula kucing tersebut mengeong, mencakar dan melompat dan berlari larian namum gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya entah bagaiman secara kebetulan kucing tersebut berhasil menekan pengungkit dan terbukalah sangkar tersebut. Eksperiman puzzle box ini kemidian dikenal dengan nama Instrumental Conditioning. Akhirnya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki. Berdasarkan eksperimen diatas Throndike menyimpulkan bahwa belajr adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori koneksionisme juga disebut “S-R Psycology of Learning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu  tujuan (Hilgard & Bower, 1975).
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen thordike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar.Seandainya kucing itu kenyang , sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain,kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya, jika sebuah respon menghasilkan efek yang memuaskan hubungan antara stimulus dengan respon akan semakin kuat. Sebaliknya semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer dalam operant conditioning  hasil penemuan B.F Skinner.
2.      PEMBIASAAN KLASIK
Pada 1904, Ivan P. Pavlov (1849-1936) memenangkan hadiah nobel dibidang psikologi dan kedokteran atas karyanya mengenai pencernaan. Dalam penelitianya ia menjalankan operasi yang cukup rumit, membuka lambung seekor anjing melalui dinding  perutnya. Ia mengamati bahwa munculnya kelenjar (sekresi) dalam perut pertama-tama dipicu bukan karena adanya makanan yang memasuki perut melainkan karena anjing tersebut mengunyah atau melihat makanan, dan disini ia mencatat bagaimana sekresi antisipatoris ini menunjukkan aspek paling menarik dari proses pencernaan. Untuk mempelajari hal itu ia pun berfokus pada bagian lain pencernaan anjing, yakni sekresi kelenjar liur dalam mulut, yang bisa diukur melalui operasi yanglebih sederhana: memasang pipa pada kelenjar liur dimulut anjing. Ketika Pavlov menyodorkan makanan kepada seekor anjing yang telah dipasangi pipa didalam mulutnya, tetes-tetes air liur pun mengalir melalui pipa itu masuk kesebuah wadah, dan liur itu pun ditakar.tetes-tetes liur ini kemudian ternyata juga menunjukkan respon anjing terhadap stimuli selain makanan didalam labolatorium. Pada saat itu, para peneliti umumnya menjelaskan bahwa keluarnya air liur tersebut adalah Karena stimuli lain tersebut dikaitkan dengan makanan. Pavlov memutuskan bahwa jawaban ini tidak memadai, dan ia mencurahkan seluruh sisa hidupnya untuk mempelajari proses ini secara amat mendetail. Melalui jalur penelitian baru ini (Pavlov, 1960), ia pun menjadi terkenal sebagai bapak pengkondisian.
Pelaku eksperimen memulai percobaan dengan memberikan sebuah stimulus (stimulus tidak  berkondisi) yang dipastikan akan mendatangkan suatu respon terrtentu  (respon tidak berkondisi). Dalam penelitian Pavlov, stimulus tidak berkondisinya berupa daging dan respon tidak berkondisinya keluarnya air liur. Stimulus berkondisi bisa mengambil bentuk berbagai macam stimuli: lonceng, metronome yang berketuk, dan sebagainya. Jika stimulus ini diberikan secara berulang-ulang persis sebelum daging disodorkan, stimulus tersebut pada akhirnya juga akan menyebabkan berliur, respon tidak berkondisi, dan dengan demikian stimulus tersebut pun menjadi stimulus tidak berkondisi. Karena istilah pengkondisian(conditioning) kemudian digunakan dalam pengertian yang amat luas, jenis khusus pengkondisian ini, jenis yang pertama kali dikaji orang, kemudian dikenal sebagai pengkondisian klasik (classical conditioning) (Hilgrard & Marquis 1940). Akhir-akhir ini orang juga semakin sering menamakan berbagai hal sejak dari penyakit hingga kesatuan pengukuran sesuai dengan nama orang; karena itu, pengkondisian klasik pun kemudian sering disebut sebagai pengkondisian pavlovian. Meskipun penemuan Pavlov terwujud karena kerja sama dengan para peneliti rusia yang lainya, seperti I.M.Sechenov dan V.M. Bekhterev, karya Pavlov lah yang jelas paling penting dan layak mendapatkan pengakuan tersebut.
Istilah stimulus tidak berkondisi (unconditioned stimulu) danstimulus berkondisi (conditioned stimulus) mungkin terdengar agak janggal bila kita mengingat pengertian yang dikandungnya. Dewasa ini banyak orang menyadari bahwa kedua istilah ini merupakan terjemahan yang keliru dari istilah rusia yang digunakan oleh Pavlov. Yang sebenarnya dimaksud adalah bahwa daging merupakan stimulus tidak kondisional (unconditional, tidak dikondisikan melalui latihan-latihan sebelumnya), sementara lonceng (atau stimulus lain yang diberikan sebelum daging) adalah stimulus kondisional bagi berliur-conditional, dikondisikan dengan cara mamasangkanya dengan daging. Dengan demikian, karena penterjemahan yang kurang tepat, selama beberapa generasi para psikolog berbahasa inggris menggunakan istilah berkondisi (conditioned) dan tidak berkondisi (unconditioned) yang terdengar aneh. Walaupun sekarang ada beberapa penulis yang menggunakan istilah kondisional (conditional) dan tidak kondisional (unconditional), kebanyakan penulis tetap berpegang pada tradisi lama dengan menggunakan dua istilah yang kurang tepat namun lebih familiar tersebut[4].
Teori pavlov ini juga disebut respondent conditioning (pembiasaan yang dituntut).
Dalam eksperimennya[5], pavlove menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan-hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned-response (USC)
Conditioned response (CR), dan uncodionet-respons  yang dipelajari, dan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun USC berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari,dan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenai  eksperimen), secara alami anjing itu mengeluarkan nilai setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika bel dibunyikan, secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, diadakan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan peberian makanan berupa serbuk daging (USC).Setelah latihan yang berulang-ulang ini ini selesai, suara bel tadi (CS), diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (USC). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilakan CR apabila CS dan USC telah berkali-kali dihadirkan  bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen diatas semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen E.L. Thorndike dimuka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang dianggap sebagai pendahulu dan anutan  Thorndike yang behavioristik itu. Simpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen Pavlov adalah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini CR.
Selanjutnya, skinner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung dalam eksperimen Pavlov itu tunduk terhadap dua macam hukum yang berbeda yakni: law of respondent conditioning dan law of respondent extinction. Secara harfiah, law of respondent conditioning berarti hukum pembiasaan yang dituntut, sedangkan law of respondent extinction adalah hukum pemusnahan yang dituntut.
Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning ialah jika dua macam stimulus dihadirkan secara bersamaan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforce) maka reflek ketiga yang terbentuk dari respons atas penguatan reflek dan stimulus lainya akan meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan USC, sedangkan reflek ketiga adalah hubungan antara CS dab CR. Sebaliknya law of respondent extinction ialah jika reflek yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatanya menurun.
3.      PEMBIASAN PERILAKU RESPONS
Teori pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) ini merupakan teori belajar yang berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh para ahli psikologi belajar masa kini. Penciptanya bernama Burrhus Frederic Skinner (lahir tahun 1904), seorang penganut behaviorisme yang dianggap kontraversial. Karya tulisnya yang masyhur berjudul about behaviorism diterbitkan pada tahun 1974. Tema pokok yang mewarnai karya-karyanya adalah bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987).
“operant” adalah sejumlah perilaku respon yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat (Reber, 1988). Tidak seperti dalam respondent conditioning (yang responsnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforce sesungguhnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu,namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainya seperti dalam classical respondent conditioning.
Dalam salah satu eksperimenya[6], Skinner menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box” peti sangkar ini terdiri atas dua macam komponen pokok, yakni: manipulandem dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah makanan. Manipulandem adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan gerakanya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri atas tombol, batang jeruji, dan pengungkit (Reber, 1988).
Dalam eksperimen tadi mula-mula tikus itu mengeksplorasi peti sangkar dengan cara lari kesan kemari, mencium benda-benda yang ada disekitarnya, mencakar dinding, dan sebgainya. Aksi-aksi seperti itni disebut “emitted behavior” (tingkah laku yang terpancar),yakni tingkah laku yang terpancar dari organism tanpa memperdulikan stimulus tertentu. Kemudian pada giliranya, secara kebetulan salah satu emitted behavior tersebut ( seperti cakaran kaki depan atau sentuhan moncong) dapat menekan pengungkit. Tekanan pengungkit ini mengakibatkan munculnya butir-butir makanan kedalam wadahnya.
Butir-butir makanan yang muncul itu merupakan reinforcer bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah disebut tingkah laku operant yang akan terus meningkat apabila diiringi dengan reinforcement, yakni penguatan berupa butir-butir makanan yang muncul pada wadah makanan.
Jelas sekali bahwa eksperiman skinner di atas mirip sekali dengan trial and error rearning yang ditemukan oleh Thorndike. Dalam hal jni, fenomena tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan satisfaction/penguatan. Deangan demikian, baik belajar dalam teori S-R Bond maupun dalam teori operant conditioning langsung atau tidak, keduanya mengakui arti penting law of effect
Selanjutnya, proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987). Hukum-hukum ini pada dasarnya sama saja dengan hukum-hukum yang melekat dalam proses belajar menurut teori pembiasan yang klasik.
Teori-teori belajar hasil eksperimen Thorndike, Skinner, dan Pavlov diatas secara principal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur. Teori-teori itu juga bersifat
Otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respons, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Jika kita renungkan dan bandingkan dengan teori juga temuan riset psikologikognitif, karakteristik belajar yang terdapat dalam teori-teori behavioristik yang terlanjur diyakini sebagian besar ahli pendidikan kita itu, sesungguhnya mengandung banyak kelemahan.
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut, yakni[7]:
a.       Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya.
b.      Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self-control (pengendalian diri) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati.
c.       Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dengna hewan.

4.      TEORI PENDEKATAN KOGNITIF
Teori psikologi kognitif adalah bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat berarti dalam perkembangan psikologi pendidikan. Sains kognitif merupakan himpunan disiplin yang terdiri atas: psikologi kognitif, ilmu-ilmu computer, linguistic, intelegensi buatan, matematika, epistemology, dan neuropsychology (psikologi syarat).
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, kayakinan dan sebagainya.
Meskipun pendekatan kognitif sering dipertentangkan dengan pendekatan behavioristik, tidak berati psikologi kognitif anti terhadap aliran behavioristik. Hanya, menurut para ahli psikologi kognitif, aliran  behaviorisme itu tidak lengkap sebagai sebuah teori psikologi, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berfikir, mempertimbangkan pilihan dan menngambil keputusan. Selain ini, aliran behaviorisme juga tidak mau tau urusan ranah rasa.
Dalam perspektif psikologi kognitif, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat bahevioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah seorang anak  yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalm hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya. Sehubungan dengan hal ini, Piaget seorang pakar psikologi terkemuka, menyimpulkan: …children have a built-in desire to learn (Barlow, 1985), bahwa anak-anak memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
Sementara itu, teori filsafat pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910) dan teori-teori belajar yang bersumber dari eksperimen Pavlov, Thordike, dan Skinner, telah diambil sebagai landasan psikologi aliran behaviorisme dibawah kepemimpinan John Broadus Watson (1878-1958). Aliran behaviorisme yang terkenal radikal dan menantang itu kini sedang mengalami fase keruntuhannya. terhadap teori-teori behavioristik, apalagi setelah dibandingkan dengan hasil-hasil riset para pakar psikologi (Reber, 1988).
Di antara keyakinan prinsipal yang terdapat dalam teori  behavioristik ialah setiap anak manusia lahir tanpa warisan kecerdasan, warisan bakat, warisan perasaan, dan warisan-abstrak lainnya. Semua kecakapan, kecerdasan, dan bahan perasaan baru timbul setelah manusia melakukan kontak dengan alam sekitar terutama alam pendidikan[8]. Artinya, seorang individu manusia bisa pintar, terampil, dan berperasaan hanya bergantung pada cara individu itu dididik.
Keyakinan principal lainnya yang dianut oleh para behavioris adalah peranan “refleks”, yakin reaksi jasmaniah yang dianggab tidak memerlukan kesadaran metal. Apapun yang dilakukan manusia, termasuk kegiatan belajar adalah kegiatan refleks belaka, yaitu reaksi manusia atas rangsangan-rangsangan yang ada. Refleks-refleks ini jika dilatih akan menjadi keterampilan-keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai manusia. Jadi, peristiwa belajar seorang siswa menurut para behavioris adalah peristiwa melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai siswa  .
Dalam perspektif psikologi kognitif, peristiwa belajar yang digambarkan seperti tadi adalah naif (terlalu sederhana dan tidak masuk akal) dan sulit dipertanggungjawabkan secara psikologi. Sebagai bukti dan bahan perbandingan, berikut ini penyusun kemukakan dua contoh kritik terhadap kepercayaan behavioristik tadi.
Pertama, memang tak dapat dimungkiri bahwa kebiasaan pada umumnya berpengaruh terhadap kegiatan belajar siswa. Seorang siswa lazimnya menyalin pelajaran, juga dengan kebiasaan. Gerakan tangan dan goresan pena yang dilakukan siswa tersebut demikian lancarnya karena sudah terbiasa menulis sejak tahun pertama masuk sekolah.
Perlu diingat bahwa sebelum siswa tadi menyalin pelajaran dengan cara yang bisa ia lakukan, tentu terlebih dahulu ia membuat keputusan mengenai ia akan menyalin pelajaran sekarang, nanti, atau sama sekali tidak. Jadi, kebiasaan dapat berfungsi sebagai pelaksana aktivitas menyalin pelajaran dari awal sampai akhir, sedangkan “keputusan” berfungsi untuk menetapkan  dimulainya aktivitas menyalin pelajaran oleh siswa tadi dengan kebiasaan yang dikuasai. Keputusan tersebut tentu bukan peristiwa behavioral melainkan peristiwa mental siswa itu sendiri.
Kedua, kebiasaan belajar seorang siswa dapat ditiadakan oleh kemauan siswa itu sendiri. Contoh, menurut kebiasaan, seorang siswa belajar seharian diperpustakaan sambil mengunyah permen. Tetapi ketika tiba saat berpuasa pada bulan Ramadhan ia hanya belajar setengah hari dengan tidak mengunyah permen. Dalam hal itu, pengurangan alokasi waktu belajar dan penghentian kebiasaan mengunyah permen merupakan kemauan siswa tersebutkarena sedang menunaikan ibadah puasa. Kemauan siswa itu tentu bukan perilaku behavioral melainkan peristiwa mental (konatif), meskipun secara lahiriah yang menerima akibat kemauan tersebut adalah perilaku behavioral.
Dari uraian contoh-contoh diatas, semakin jelaslah bahwa perilaku belajar itu, dalam hampir semua bentuk dan manifestasinya, bukan sekedar peristiwa S-R Bond (ikatan antara stimulus dan respons) melainkan lebih banyak melibatkan proses kognitif. Hanya dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas rusng lingkupnya (umpamanya belajar meniru sopan santun dimeja makan dan bertegur sapa), peranan ranah cipta siswa tidak menonjol. 















BAB 111
PENUTUP
3.1  kesimpulan
Teori adalah interpretasi sistematis atas sebuah bidang pengetahuan. Dalam psikologi pendidikan lebih baik digunakan istilah system atau intepretasi sistematis dari pada istilah teori. Karena teori kadang –kadang digunakan dalam pengertian yang lebih sempit untuk merujuk pada sejenis system logika formal.
Sebuah teori pembelajaran biasanya memiliki tiga fungsi yang berbeda namun saling terkait dengan  erat (berfungsi sebagai petunjuk sumber stimulasi bagi peneliti dan pemikir ilmiah, Teori pembelajaran berupaya untuk meringkas sekumpulan besar pengetahuan mengenai hukum-hukum pembelajaran kedalam ruang yang cukup kecil, Teori pembelajaran secara kreatif berupaya menjelaskan apa itu permbelajaran dan mengapa pembelajaran berlangsung seperti adanya).
Macam-macam teori pembelajaran,diantaranya: teori koneksionisme, teori pembiasaan klasik, teori pembiasaan perilaku respons, teori pendekatan kognitif.
Dalam teori koneksionisme  kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar. Pertama, keadaan kucing yang lapar.Seandainya kucing itu kenyang , sudah tentu tak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif yang memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect.
Berdasarkan teori pembiasaan klasik semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons.
proses dalam belajar dalam teori operant conditioning juga tunduk pada kedua hukum operan yang berbeda, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. menurut law of operant conditioning, jika timbulnya tingkah laku oparant diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law of operant extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun atau bahkan musnah (Hintzman, 1987)
Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan, kayakinan dan sebagainya.
3.2  saran
Dalam pembahasan diatas banyak para pakar  psikologi yang menghabiskan waktunya untuk melakukan eksperimen agar mendapatkan hasil yang maksimal dalam menerapkan suatu system pembelajaran, selaikn waktu pastinya juga biaya. Sehingga tidak mudah untuk menjadi seorang pendidik kita memerlukan teori agar ilmu yang kitasampaikan kepada peserta didik bisa dicerna dengan baik, sehingga kita perlu untuk mempelajarinya, karena seorang pendidik tidak dikatakan berhasilapabila ia belum bisa membuat anak didiknya mengerti tentang apa yang diajarkan.

























DAFTAR PUSTAKA

-          Gunawan, Ary. 2000. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
-          Hadis, Abdul. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
-          Hill, Winfred. 2010. Theories of Learning. Bandung: Nusa Media.
-          Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-Teori Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
-          Syah, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
-          Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



[1] Winfred F. Hill,  theories of learning (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 27
[2] Ibid., hlm. 28
[3] Muhibbin Syah, psikologi pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 103-104
[4] Winfred F. Hill, Op. Cit., hlm. 36
[5] Muhibbin Syah. Op. Cit., hlm 104-106
[6] Ibid., hlm 106-107
[7] Ibid., hlm. 108
[8] Ibid., hlm. 109

Tidak ada komentar:

Posting Komentar