Ciri-ciri pondok pesantren salaf
Pesantren
(pondok pesantren) merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana
pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan (Rafiq
Zainul Mun’im, 2009). Secara
umum, pesantren memiliki tipologi yang sama, yaitu sebuah lembaga yang dipimpin
dan diasuh oleh kiai dalam satu komplek yang bercirikan:
-
adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan
-
asrama sebagai tempat tinggal santri, di samping rumah tempat
tinggal kiai, dengan
-
“kitab kuning”
sebagai buku pegangan.
Menurut
Mustofa Bisri (2007: 11) di samping ciri lahiriah tersebut, masih ada ciri umum
yang menandai karakteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri
kepada kiai yang sering disinisi sebagai pengkultusan.
Pesantren salaf adalah pesantren yang
memiliki karakteristik khusus, yakni salaf (tradisional). Menurut
Zamakhsyari Dhofier (1994: 50), ada beberapa ciri pesantren salaf atau
tradisional, terutama
1.
dalam
hal sistem pengajaran dan materi yang diajarkan. Pengajaran kitab-kitab
Islam klasik atau sering disebut dengan “kitab kuning”, karena
kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang menganut
faham Syafi’iyah. Semua ini merupakan pengajaran formal yang diberikan
dalam lingkungan pesantren tradisional. Abdurrahman Wahi]d (2010: 71)
mencatat bahwa ciri utama dari pengajian pesantren tradisional ini
adalah cara pemberian pengajarannya yang ditekankan pada penangkapan
harfiah (litterlijk) atas suatu kitab (teks) tertentu.
2.
Pendekatan
yang digunakan adalah menyelesaikan pembacaan kitab (teks) tersebut, untuk
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain
3.
Sistem
individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut sistem
sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada
murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran.
4.
Metode
utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren tradisional adalah sistem bandongan
atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam
sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500 orang) mendengarkan seorang
guru membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas buku-buku
Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memerhatikan bukunya atau kitabnya
sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang
kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan
ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau
sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru (Zamakhsyari
Dhofier, 1994: 28).
5.
Ciri
lain yang didapati di pesantren salaf adalah mulai dari budaya penghormatan dan
rasa ta’zhim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai sejumlah
ritual tirakat: puasa, wirid, dan lainnya, hingga kepercayaan pada barakah
(Rodli, 2007). Hal inilah yang memunculkan anggapan bahwa kepatuhan santri
kepada kiai terlalu berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan lain
sebagainya. Namun, anggapan ini, menurut Mustofa Bisri (2007: 13), terlalu
sederhana, gebyah uyah, generalisasi yang kurang tepat, dan secara tidak
langsung mendiskriditkan kiai-kiai yang mukhlis (ikhlas) yang menganggap tabu
beramal lighairillah, beramal tidak karena Allah tetapi agar dihormati
orang. Pesantren salaf, menurut Mustofa Bisri (2007: 13), umumnya benarbenar milik
kiainya. Santri hanya datang dengan bekal untuk hidup sendiri di pesantren. Bahkan
ada atau banyak yang untuk hidupnya pun nunut kianya. Boleh dikatakan,
kiai
pesantren
salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan miliknya untuk para santri. Beliau
memikirkan, mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa pamrih. Bukan saja
saat para santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah
terjun di masyarakat.
Metode pembelajaran di
pondok salaf
Beberapa metode pembelajaran yang
menjadi cirri utama pondok salaf adalah, sebagai berikut:
1.
Metode sorogan,
yang berarti menyodorkan, karena setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan
kyai atau badalnya. System sorogan ini termasuk belajar secara individual,
dimana seorang santri berhadapan dengan seorang kyai dan terjadi interaksi
diantara keduanya. System ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai,
menimbang secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi.
2.
Metode
wetonan/badongan, yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada
waktu-waktu tertentu. Metode weton ini para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan. Berkaitan dengan system penilaian, biasanya
kyai mempunyai catatan khusus sehingga para santri merasa diawasi dan dimonitor
perkembangan kemampuanya.
3.
Metode
musyawarah/bahtsul masail, merupakan metode yang mirip dengan metode diskusi
dan seminar. Beberapa santri dengan jumlah tertentu membuat halaqoh yang
dipimpin langsung oleh kyai untuk membahas suatu persoalan yang telah
ditentukan sebelumnya, dalam pelaksanaanya santri bebas mengajukan pertanyaan
atau pendapatnya. Dengan demikian metode ini menitikberatkan pada kemampuan
perorangan dalam menganalisis dan memecahkan persoalan dengan argument logika
yang mengacu pada kitab-kitab tertentu.
4.
Metode pengajian
pasaran, kegiatan pengkajian materi ( kitab ) tertentu pada kyai dilakukan oleh
santri dalam kegiatan yang terus-menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada
umumnya dilakukan pada bulan ramadhan. Metode ini mirip dengan metode
bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adalah selesainyaa
kitab.titikberatnya pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode
bandongan
5.
Metode hafalan, kegiatan
para santri menghafal teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan kyai.
6.
Metode
demonstrasi/praktek ibadah, cara pembelajaran dengan memperagakan suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan
ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan atau kelompok.
Problematika pengajaran
bahasa arab di pondok salaf
1. Pondok pesantren salaf lebih mendalami ilmu nahwu dan shorof yang
merupakan ilmu alat dalam penggunaan Bahasa Arab.
2.
Kitab-kitab
klasik seperti Al fiyah yang berisi 1000 bait wajib dihafal oleh santri
salaf.
Belum lagi ditambah nadzom imfrity yang berisi 500 bait, yang paling
rendah tingkatannya adalah jurumiah. Pondok salaf lebih fokus kepada ilmu ini, karena sangat
berguna dalam memahami kitab-kitab klasik karya ulama-ulama besar zaman dahulu.
3.
Percakapan
dengan menggunakan 2 bahasa tidak terlalu dianjurkan karena dalam memaknai
kitab mereka lebih menggunakan bahasa jawa kuno, sunda kuno, melayu kuno atau
yang lainya.
4. Sehingga santri memahami uslub bahasa arab dengan I’rabnya yang
jelas dan bisa membaca kitab arab tanpa baris secara shahih, disertai dengan
hafalan yang disiplin sebagai asas bagi para santri agar mampu mengingat kaidah
nahwu shorof. tetapi para santri lebah dalam berbicara bahasa arab.
Solusi:
Kalau dilihat dari proses
perkembangan dan keberadan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia sejak masuknya Islam hingga sampai saat ini telah
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: [1]
Pertama, pembelajaran bahasa Arab pada
mulanya melalui pengenalan lafazd-lafazd yang digunakan dalam ibadah-ibadah dan
do’a-do’a. Oleh karena itu sebagai materinya adalah bagian akhir al Qur’an (Juz
Amma) dan bacaan yang dibaca dalam sholat. Melalui model inilah bahasa arab
mulai dikenalkan dan diajarkan pada orang-orang muslim.
Kedua, pembelajaran bahasa Arab
melalui pengajaran dan penjelasan materi-materi agama Islam yang dilaksanakan
di mushola/surau-sebagai cikal bakal berdirinya pondok pesantren. Metode yang digunakan
dalam pembelajaran model ini adalah metode gramatikal dan penerjemahan secara
lisan (Grammar and Translation method)
Ketiga, kebangkitan pembelajaran
bahasa Arab, hal ini ditandai dengan reorentasi (tujuan) baru dalam
pembelajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren, hal inilah yang mendorong
dan membangkitkan lembaga-lembaga tinggi Islam untuk mengakaji dan menela’ah
ulang pembelajaran bahasa yang sudah ada dan berlangsung di pesantren-pesantren
atau lembaga yang mengajarkan bahasa Arab secara universal.
Keempat, pembelajaran bahasa Arab dalam
tahap pencarian dan percobaan terhadap materi, tujuan dan metode yang
digunakan. Oleh karenanya pada tahap ini metode dianggap sebagai kunci
keberhasilan dalam pembelajaran bahasa Arab, maka hampir seluruh lembaga Islam,
baik perguruan tinggi atau pondok pesantren berusaha untuk mencoba berbagai
macam metode yang ada dalam pembelajaran bahasa Arab utamanya adalah metode
langsung (Direct Method).
Kelima, pembelajaran bahasa Arab dalam
tahapan yang matang, yaitu pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan metode
selektif (Eclectic Method), penggunaan metode ini disesuaikan dengan
kondisi lingkunganya, dimana metode-metode tersebut telah diteliti dan
diujicobakan dalam waktu yang cukup lama dalam pembelajaran bahasa Arab pada
tahapan-tahapan sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar