Jumat, 26 Desember 2014

Problematika pengajaran bahasa arab di pondok salaf

            Ciri-ciri pondok pesantren salaf
Pesantren (pondok pesantren) merupakan institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan (Rafiq Zainul Mun’im, 2009). Secara umum, pesantren memiliki tipologi yang sama, yaitu sebuah lembaga yang dipimpin dan diasuh oleh kiai dalam satu komplek yang bercirikan:
-          adanya masjid atau surau sebagai pusat pengajaran dan
-          asrama sebagai tempat tinggal santri, di samping rumah tempat tinggal kiai, dengan
-           “kitab kuning” sebagai buku pegangan.
Menurut Mustofa Bisri (2007: 11) di samping ciri lahiriah tersebut, masih ada ciri umum yang menandai karakteristik pesantren, yaitu kemandirian dan ketaatan santri kepada kiai yang sering disinisi sebagai pengkultusan.
Pesantren salaf adalah pesantren yang memiliki karakteristik khusus, yakni salaf (tradisional). Menurut Zamakhsyari Dhofier (1994: 50), ada beberapa ciri pesantren salaf atau tradisional, terutama
1.      dalam hal sistem pengajaran dan materi yang diajarkan. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan “kitab kuning”, karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah. Semua ini merupakan pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren tradisional. Abdurrahman Wahi]d (2010: 71) mencatat bahwa ciri utama dari pengajian pesantren tradisional ini adalah cara pemberian pengajarannya yang ditekankan pada penangkapan harfiah (litterlijk) atas suatu kitab (teks) tertentu.
2.      Pendekatan yang digunakan adalah menyelesaikan pembacaan kitab (teks) tersebut, untuk kemudian dilanjutkan dengan pembacaan kitab (teks) lain
3.      Sistem individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut sistem
sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-Quran.
4.      Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren tradisional adalah sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500 orang) mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memerhatikan bukunya atau kitabnya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 28).
5.      Ciri lain yang didapati di pesantren salaf adalah mulai dari budaya penghormatan dan rasa ta’zhim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai sejumlah ritual tirakat: puasa, wirid, dan lainnya, hingga kepercayaan pada barakah (Rodli, 2007). Hal inilah yang memunculkan anggapan bahwa kepatuhan santri kepada kiai terlalu berlebih-lebihan, berbau feodal, pengkultusan, dan lain sebagainya. Namun, anggapan ini, menurut Mustofa Bisri (2007: 13), terlalu sederhana, gebyah uyah, generalisasi yang kurang tepat, dan secara tidak langsung mendiskriditkan kiai-kiai yang mukhlis (ikhlas) yang menganggap tabu beramal lighairillah, beramal tidak karena Allah tetapi agar dihormati orang. Pesantren salaf, menurut Mustofa Bisri (2007: 13), umumnya benarbenar milik kiainya. Santri hanya datang dengan bekal untuk hidup sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak yang untuk hidupnya pun nunut kianya. Boleh dikatakan, kiai
pesantren salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan miliknya untuk para santri. Beliau memikirkan, mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa pamrih. Bukan saja saat para santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.
Metode pembelajaran di pondok salaf
Beberapa metode pembelajaran yang menjadi cirri utama pondok salaf adalah, sebagai berikut:
1.      Metode sorogan, yang berarti menyodorkan, karena setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau badalnya. System sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang santri berhadapan dengan seorang kyai dan terjadi interaksi diantara keduanya. System ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, menimbang secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi.
2.      Metode wetonan/badongan, yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu. Metode weton ini para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai yang menerangkan pelajaran, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan. Berkaitan dengan system penilaian, biasanya kyai mempunyai catatan khusus sehingga para santri merasa diawasi dan dimonitor perkembangan kemampuanya.
3.      Metode musyawarah/bahtsul masail, merupakan metode yang mirip dengan metode diskusi dan seminar. Beberapa santri dengan jumlah tertentu membuat halaqoh yang dipimpin langsung oleh kyai untuk membahas suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya, dalam pelaksanaanya santri bebas mengajukan pertanyaan atau pendapatnya. Dengan demikian metode ini menitikberatkan pada kemampuan perorangan dalam menganalisis dan memecahkan persoalan dengan argument logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu.
4.      Metode pengajian pasaran, kegiatan pengkajian materi ( kitab ) tertentu pada kyai dilakukan oleh santri dalam kegiatan yang terus-menerus selama tenggang waktu tertentu. Pada umumnya dilakukan pada bulan ramadhan. Metode ini mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adalah selesainyaa kitab.titikberatnya pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan
5.      Metode hafalan, kegiatan para santri menghafal teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan kyai.
6.      Metode demonstrasi/praktek ibadah, cara pembelajaran dengan memperagakan  suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan atau kelompok.

Problematika pengajaran bahasa arab di pondok salaf
1.      Pondok pesantren salaf lebih mendalami ilmu nahwu dan shorof yang merupakan ilmu alat dalam penggunaan Bahasa Arab.
2.      Kitab-kitab klasik seperti Al fiyah yang berisi 1000 bait wajib dihafal oleh santri salaf. Belum lagi ditambah nadzom imfrity yang berisi 500 bait, yang paling rendah tingkatannya adalah jurumiah. Pondok salaf lebih fokus kepada ilmu ini, karena sangat berguna dalam memahami kitab-kitab klasik karya ulama-ulama besar zaman dahulu.
3.      Percakapan dengan menggunakan 2 bahasa tidak terlalu dianjurkan karena dalam memaknai kitab mereka lebih menggunakan bahasa jawa kuno, sunda kuno, melayu kuno atau yang lainya.
4.      Sehingga santri memahami uslub bahasa arab dengan I’rabnya yang jelas dan bisa membaca kitab arab tanpa baris secara shahih, disertai dengan hafalan yang disiplin sebagai asas bagi para santri agar mampu mengingat kaidah nahwu shorof. tetapi para santri lebah dalam berbicara bahasa arab.

Solusi:
Kalau dilihat dari proses perkembangan dan keberadan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia sejak  masuknya Islam hingga sampai saat ini telah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: [1]
Pertama, pembelajaran bahasa Arab pada mulanya melalui pengenalan lafazd-lafazd yang digunakan dalam ibadah-ibadah dan do’a-do’a. Oleh karena itu sebagai materinya adalah bagian akhir al Qur’an (Juz Amma) dan bacaan yang dibaca dalam sholat. Melalui model inilah bahasa arab mulai dikenalkan dan diajarkan pada orang-orang muslim.
Kedua, pembelajaran bahasa Arab melalui pengajaran dan penjelasan materi-materi agama Islam yang dilaksanakan di mushola/surau-sebagai cikal bakal berdirinya pondok pesantren. Metode yang digunakan dalam pembelajaran model ini adalah metode gramatikal dan penerjemahan secara lisan (Grammar and Translation method)
Ketiga, kebangkitan pembelajaran bahasa Arab, hal ini ditandai dengan reorentasi (tujuan) baru dalam pembelajaran bahasa Arab di pondok-pondok pesantren, hal inilah yang mendorong dan membangkitkan lembaga-lembaga tinggi Islam untuk mengakaji dan menela’ah ulang pembelajaran bahasa yang sudah ada dan berlangsung di pesantren-pesantren atau lembaga yang mengajarkan bahasa Arab secara universal.
Keempat, pembelajaran bahasa Arab dalam tahap pencarian dan percobaan terhadap materi, tujuan dan metode yang digunakan. Oleh karenanya pada tahap ini metode dianggap sebagai kunci keberhasilan dalam pembelajaran bahasa Arab, maka hampir seluruh lembaga Islam, baik perguruan tinggi atau pondok pesantren berusaha untuk mencoba berbagai macam metode yang ada dalam pembelajaran bahasa Arab utamanya adalah metode langsung (Direct Method).
Kelima, pembelajaran bahasa Arab dalam tahapan yang matang, yaitu pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan metode selektif (Eclectic Method), penggunaan metode ini disesuaikan dengan kondisi lingkunganya, dimana metode-metode tersebut telah diteliti dan diujicobakan dalam waktu yang cukup lama dalam pembelajaran bahasa Arab pada tahapan-tahapan sebelumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar